Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Literasi Itu Cara Bersikap, 5 Alasan Pentingnya Membangun Sikap

16 Juli 2020   06:12 Diperbarui: 16 Juli 2020   06:20 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Literasi itu sikap (Sumber: TBM Lentera Pustaka)

Literasi, sejatinya bukan hanya soal membaca, menulis, atau berhitung. Tapi literasi menyangkut kemampuan memahami dan memecahkan masalah sesuai dengan keahliannya. Maka, literasi adalah cara bersikap. Sikap itulah yang akhirnya membedakan orang literat dengan yang tidak literat.

Banyak orang gagal dalam bersikap. Hanya peduli terhadap fakta. Lalu memperbesar celotehan dan pikiran subjektifnya. Hingga gemar menyalahkan orang lain. Menggiring pikiran subjektif. Sebuah arogansi individual. 

Mereka lupa, fakta itu bisa terjadi pada siapapun. Tapi yang penting, bagaimana menyikapinya? Itulah yang disebut "sikap lebih penting daripada fakta".

Apalagi di masa Covid-19 begini. Ternyata makin banyak orang yang "kehilangan" sikap. Katanya sehat itu penting tapi perilakunya melalaikan protokol kesehatan. Katanya jaga jarak, tapi nyatanya tetap berkerumun. Katanya tidak perlu keluar rumah bila tidak perlu, nyatanya ngelayap kemana-mana.

Sikap jauh lebih penting daripada fakta. 

Hari-hari sekarang emang makin banyak orang yang tidak bisa menerima keadaan dirinya sendiri. Makin banyak media sosial, makin banyak orang galau. Ia kecewa pada dirinya sendiri. Lalu dilampiaskan kepada banyak orang. 

Kerjanya menyalahkah atau cari kesalahan. Bahkan, hidup dan dunianya sempit. Merasa punya banyak kekurangan. Sampai akhirnya, ia mulai "bermimpi kosong". Lalu, dalam hatinya bertanya, "mengapa aku tak bisa seperti dia?"

Apa yang sebenarnya yang terjadi?

Yang terjadi, orang-orang itu bisa dibilang tidak punya SIKAP. Orang yang tidak punya SIKAP adalah orang yang "membenarkan" pikirannya sendiri. Tapi di saat yang sama "menyalahkan" perilakunya. Agak lucu.

Memang, tidak banyak orang yang bisa menerima keadaan dirinya. Ini bukan soal kurang atau lebih. Ini soal SIKAP. Tidak jarang orang yang merasa "tidak lebih baik" dari segala yang sudah dia miliki. Lantas, dia berpikir untuk "menjadi orang lain". Di situlah, ia mulai berperilaku seperti orang lain dan kemudian ia sadar dan menyalahkannya.

Nyata sudah, banyak dari kita yang sudah "kehilangan" SIKAP. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun