Taman Bacaan di manapun harusnya hadir bukan hanya untuk menjadi tempat membaca anak-anak usia sekolah. Tapi jauh lebih penting adlaah untuk menekan angka putus sekolah. Maka di era yang katanya serba digital, eksistensi taman bacaan tidak bisa lagi hanya bertumpu pada aktivitas membaca semata. Karena ada agenda lain yang bisa menyebabkan lemahnya keberadaan taman bacaan. Yaitu, tidak adanya anak-anak yang membaca.
Harus disadari, taman bacaan adalah prasaran yang menunjang aktivitas belajar dan sekolah anak-anak. Setelah pulang sekolah, maka si anak bisa melakukan aktivitas tambahan untuk membaca buku di taman bacaan, Agar pengetahuan dan wawasannya bertambah.
Tapi aktivitas taman bacaan menjadi seakan "mati suri". Akibat angka putus sekolah di suatu wilayah masih tergolong tinggi. Maka taman bacaan pun harus mengenali kondisi demografi masyarakatnya sendiri. Apakah ada potensi atau tidak terjadinya putus sekolah? Karena bila itu terjadi, maka "kiamat' akan menimpa taman bacaan.
Sebagai contoh, survei internal yang dilakukan TBM (Taman Bacaan masyarakat) Lentera Pustaka di Kaki Gunung Salak Bogor. Dari 45 anak pembaca aktif TBM Lentera Pustaka yang sudah mengisi survei internal, saat ditanya apa pekerjaan orang tua mereka?
Maka jawabannya dapat disimpulkan sebagai berikut:
- 35,6% orang tuanya tidak bekerja/tidak bekerja tetap
- 20% peladang/petani
- 13,3% pedagang
- 31,1% pegawai tetap.
Itu artinya, 69% orang tua anak-anak yang membaca di TBM Lentera Pustaka bekerja di sektor informal. Sektor informal adalah sektor yang paling rentan dengan kemiskinan sehingga akan berdampak pada potensi terjadinya putus sekolah.