![Sumber: GeberBura TBM Lentera Pustaka](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/06/25/geber1-5ef4b168097f365803210402.jpeg?t=o&v=555)
Saya sebagai guru buta aksara. Bu Euis dan teman-temannya pun. Tetap tetap menjadi "ruang kuliah" yang penuh ilmu. Kaum bawahan yang tetap mampu melecut saya untuk mau berbuat kepada mereka yang membutuhkan. Bukan materi, tapi keberanian untuk mengajarkan mereka yang masih buta huruf.
Biar bagaimana pun, Bu Euis adalah suara ibu di kejauhan yang ingin berteriak, "Tolong ajari saya...". Suara yang memanggil dengan batin. Untuk berbuat dan membebaskan mereka dari belenggu buta huruf.
Bu Euis, memang hanya bagian kisah nyata dalam kehidupan. Tentang kaum ibu yang masih dilanda buta huruf. Di era yang katanya penuh kecangghan teknologi, era modern yang kian menguatkan ego dan nafsu dunia.
Dari Bu Euis pula saya belajar.
Siapapun orangnya. Bila mau mengerjakan kebaikan sekalipun tanpa bayaran. Maka suatu saat, Allah akan "membayar" berkali-kali lipat dari apa yang ia kerjakan. Seperti seorang buta huruf yang masih mau berjuang untuk bisa membaca dan menulis. Penuh ikhlas dan kesungguhan, karena ia tahu itu baik.
Maka hindari prasangka buruk pada orang yang ikhtiar baik ...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI