Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ada Apa Ramai Tagar Boikot TVRI? Oh, Ternyata ...

29 Mei 2020   20:12 Diperbarui: 29 Mei 2020   20:11 519
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tiba-tiba ramai hari ini. Ribuan twit muncul dengan tagar Boikot TVRI - #BoikotTVRI. Entah apa yang terjadi dengan Lembaga penyiaran milik negara itu. Siapa pula yang menggerakkannya? Sementara rabu lalu (27/5/20), Dewas TVRI baru saja melantik Iman Btrotoseno sebagai Direktur Utama Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia (Dirut LPP TVRI) yang sebelumnya dijabat oleh Helmy Yahya.

Lalu kok, ramai tagar boikot TVRI. Kenapa dan ada apa dengan TVRI?

Ternyata selidik punya selidik. Sang Dirut baru, Iman Brotoseno, dianggap publik punya rekam jejak digital yang kurang pas. Apa pasalnya? Karena beliau pernah berkicau di twitter soal "bokep alias film porno sebagai pemersatu bangsa". Selain pernah menjadi kontributor majalah dewasa Playboy dan menjadi konsultan politik yang dekat dengan salah satu partai politik besar di negeri ini. Semua itu mencuat pasa pelantikannya, sehingga menimbulkan polemik. Maka muncullah trendin "tagar boikot TVRI".

Dari sini ada dua pelajaran berharga yang bisa dipetik. Satu, betapa jahatnya rekam jejak digital sesorang yang terpampang di media sosial. Karena itu, siapapun harus berhati-hari dalam berkomentar maupun berkicau di media sosial. Semua bisa ditelusuri dan menjadi "borok" yang kapanpun dapat diungkit kembali. Apalagi warganet atau netizen di negeri ini tergolong galak-galak.

Kedua, pemegang kekuasaan seperti Dewan Pengawas TVRI seharusnya memperhatikan beragam aspek sebagai kriteria untuk menunjuk Dirut TVRI yang baru. Utamanya bukan hanya soal performa, ilmu, pengalaman dan sebagainya. Tapi soal moral dan akhlak harus jadi kriteria utama. Sehingga tidak menimbulkan polemik dan kegaduhan yang sebenarnya tidak perlu.

Agak disayangkan. Bila baru ditunjuk dan belum bekerja apa-apa sudah menimbulkan polemik. Sehingga menganggu spirit untuk memajukan kinerja TVRI dari kondisi yang sebelumnya. Bahkan tidak mungkin, dampaknya bisa menurunkan kepercayaan publik. Bukan hanya kepada individu Dirut TVRI melainkan juga kepada TVRI sebagai institusi. Maka, di sinilah pentingnya kehati-hatian, baik dalam urusan personal di media sosial maupun pemegang kekuasaan dalam menyeleksi jabatan publik.

Sementara memang harus ada yang dikoreksi dari warganet atau netizen. Kenapa rekam jejak masa lalu seseorang yang berupa kicauan di media sosial dijadikan "alat tembak" untuk memboikot TVRI. Bukankah seseorang pasti punya track record masa lalu. Dan itupun belum tentu tidak baik, apalagi hanya kicauan di media sosial. Jika pun begitu, kenapa yang diboikot institusi? Bukan individu-nya? Dalam konteks ini, maka ruang dialog harus dibuka seluas-luasnya. Agar ada kesempatan semua pihak untuk mengklarifikasi, sekaligus meluruskan hal yang dipersoalkan. Mana yang perlu diingatkan, mana yang harus direkomendasikan. Begitulah seharusnya.

Apa poin yag mau saya sampaikan melalui tulisan ini?

Saya tidak punya kepentingan kepada TVRI. Karena saya pun jarang menonton siarannya. Tapi saya tertarik sekaligus terpancing untuk menuliskannya. Bahwa di negeri ini, seringkali menempatkan seseorang pada jabatan publik tanpa memperhitungkan rekam jejak dari berbagai aspek. Utamanya soal akhlak. Sementara pendidikan karakter sedang digencarkan. Tapi justri pemegang kekuasaan seringkali mengabaikan soal akhlak dalam memilih pejabat. Teramsuk akhlak dalam mekanisme seleksi dan pemilihannya. Ujug-ujug di masa Covid-19, dilantik saja. Apa iya harus begitu?

Dimensi akhlak ini harusnya jadi rujukan.

Untuk siapapu dan untuk jabatan publik apapun. Karena akhlak menjadi pangkal segalanya. Selagi akhlak-nya jelek maka jeleknya perilaku dan sikapnya. Selagi akhlaknya baik, maka akan baik perilaku dan sikapnya. Dan saya percaya itu, karena itu ajaran agama. Jangan sebaliknya, menjadikan publik ragu terhadap pengangkatan sebuah jabatan publik. Sehingga berkembanglah spekulasi krisi akhlak. Atau pernyataan, apakah tidak ada orang lain yang lebih pantas? Mari kita bertanya, kenapa semua itu bisa terjadi?

Semua jabatan publik di negeri ini, seharusnya memperhatikan kriteria akhlak dari orang yang dipilihnya atau diangkatnya. Apapun itu. Akhlak harus jadi acuan utama. Dan setidaknya, ada 4 kriteria akhlak yang bisa diukur dari seseorang untuk jabatan publik, yaitu:

1. Apakah orangnya jujur dan dapat dipercaya?

2. Apakah orangnya adil dalam mengambil keputusan?

3. Apakah orangnya peduli terhadap orang lai, bukan dirinya sendiri?

4. Apakah orangnya berperilaku etis dalam kehidupan?

Dengan 4 indikator itu, silakan saja dicari tahu tentang si kandidat yang akan mengisi jabatan publik. Pasti bisa dan pasti bisa dibeberakan secara transparan. Jika perlu, alasan akhlak itulah yang menjadi "key messages" dari pengangkatan seorang pejabat publik. Tentu setelah soal

Visi-misi, kecakapan, kecerdasan, dan pengalaman sekalipun.

Terlepas dari akan seperti apa TVRI ke depan. Saya tentu tidak bisa memprediksi. Tapi saya berharap, TVRI sebagai Lembaga penyiaran tertua milik negara bisa menjadi lebih baik. Lebih profesional dan lebih ber-akhlak. Sekalipun milik pemerintah, katakan yang benar bila itu benar dan katakana yang salah bila itu salah.

Akhirnya yang paling penting. Adalah "jangan terburu-buru dalam segala hal; karena terburu-buru selalu gagal meraih hasil yang optimal".... #BudayaLiterasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun