Tapi dalam realitasnya, pendidikan bisa jadi baru sebatas seremoni. Belum menyentuh intinya, hakikatnya. Karena proses pendidikan berjalan seperti seremoni. Baru sebatas memenuhi rangkaian perbuatan yang terikat pada aturan tertentu. Terlalu tergantung pada kurikulum dan sarana prasarana. Belum banyak melibatkan kreativitas dan pikiran yang merdeka. Pendidikan yang esensi berarti menyentuh inti, bertumpu pada hakikat. Bukan sekadar seremoni dan rutinitas belajar-mengajar yang apa adanya.
Maka mutu pendidikan jadi taruhannya. Kualitas sumber daya manusia jadi ukurannya.
Terlepas dari setuju atau tidak. Survei kemampuan pelajar yang dirilis oleh Programme for International Student Assessment (PISA) pada Desember 2019 di Paris, menempatkan Indonesia di peringkat ke-72 dari 77 negara. Bercokol di peringkat enam terbawah, masih kalah dari negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei Darussalam.Â
Education Index dari Human Development Reports (2017), pun menyebut Indonesia ada di posisi ke-7 di ASEAN dengan skor 0,622. Skor tertinggi diraih Singapura (0,832), Malaysia (0,719), Brunei Darussalam (0,704), Thailand dan Filipina sama-sama memiliki skor 0,661. Ini hanya menegaskan. Bahwa indeks pendidikan yang rendah jadi sebab daya saing pun lemah.
Maka, besarnya anggaran pendidikan tahun 2020 yang mencapai Rp. 505,8 triliun memang tidak menjamin mutu pendidikan. Sekalipun 20% dari total APBN, harus diakui, anggaran tidak berkontribusi signifikan terhadap kualitas pendidikan. Asal jangan berdebat lagi, jadi apa masalah pendidikan? Anggaran, kurikulum, guru atau apa?
Data UNESCO dalam Global Education Monitoring (GEM) Report 2016, mutu pendidikan di Indonesia menempati peringkat ke-10 dari 14 negara berkembang. Sedangkan kualitas guru sebagai komponen penting dalam pendidikan, berada di urutan ke-14 dari 14 negara berkembang di dunia. Mungkin tidak perlu dibantah. Karena faktanya, memang 75% sekolah di Indonesia tidak memenuhi standar layanan minimal pendidikan.
Saya kira cukup sampai di situ. Ternyata belum. Kekerasan di sekolah pun masih terjadi. Berapa banyak siswa yang meregang nyawa akibat kekerasan di dunia pendidikan? Ikhtisar Eksekutif Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak 2016-2020 dari Kemen-PPPA menyebut 84% siswa pernah mengalami kekerasan di sekolah dan 50% anak pernah mengalami perundungan (bullying) di sekolah.Â
Menurut KPAI, angka kasus tawuran pelajar pun meningkat, dari 12,9% menjadi 14% di tahun 2018. Sementara 27% pengguna narkoba di Indonesia berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswa (Puslitkes UI dan BNN, 2016). Tentu, angka-angkat itu bukan untuk memojokkan. Tapi untuk memperbaiki diri, untuk menilik pendidikan di Indonesia.
Maka dengan pikiran terbuka, mungkin terobosan "Merdeka Belajar" bolehlah dilakukan. Karena Nadiem Makarim ingin pendidikan kembali ke esensi, bukan seremoni. Agar ada kemerdekaan berpikir dalam pendidikan, bukan melulu soal aturan main. Dan semua itu harus dimulai dari guru agar lebih kompeten. Baru kemudian diajarkan kepada siswa. Agar tercipta pendidikan yang berkualitas. Tinggal kita tunggu implementasinya soal "merdeka belajar" ini.
Menilik potret pendidikan Indonesia.