Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Siapa Itu Buruh?

1 Mei 2020   19:06 Diperbarui: 1 Mei 2020   20:11 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1 Mei itu Hari Buruh.

Tapi kenapa yang ikut libur bukan hanya "buruh". Tapi saudaranya buruh pun ikut libur; pekerja, pegawai, karyawan. Karena buruh artinya orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah. Jadi, siapapun yang bekerja untuk memperoleh upah atau gaji, dapat disebut buruh. Maka buruh, syaratnya kurang lebih ada 2, yaitu 1) bekerja untuk mendapat upah atau gaji dan 2) punya majikan; ada yang majikannya orang ada yang majikannya perusahaan. Di luar itu, berarti bukan buruh.

Ada yang bilang buruh itu sama dengan pekerja, pegawai atau karyawan.

Tapi bila saya ini "pekerja sosial", kenapa saya gak boleh disebut "buruh sosial"? Bila ada si mbak yang "pekerja seks komersial - PSK", kenapa kita gak boleh panggil dia sebagai "buruh seks komersial -- BSK". Sebaliknya, di Kaki Gunung Salak ada "buruh tani", tapi gak boleh disebut "pegawai tani". Terus kalau "karyawan bank", mau gak dipanggil "buruh bank"? Pusing juga ya urusan buruh. Dulu sebelum ASN, namanya "pegawai negeri". Tapi kerjanya untuk negara. Ya harusnya disebut "pegawai negara" dong. Urusan buruh itu memang soal kompleks, gak sederhana.

Apalagi di musim Covid-19 sekarang, tidak kurang dari 2 juta buruh sudah di-PHK atau dirumahkan. Kini mereka #DiRumahAja, lalu bagaimana mereka ke depannya?

Tapi buat sebagian orang, buruh boleh-boleh saja dibedakan dengan pekerja, pegawai atau karyawan. Walau ukuran jam kerja, upah atau gaji, cuti, pesangon atau lainnya, bisa jadi sama. Mungkin jadi berbeda, karena soal status sosial. Atau soal materialism atau soal kapital. Soal seberapa banyak dan mampu mengumpulkan uang. Bisa jadi. Karena dalam filsafat bahasa, tidak ada diksi atau istilah yang bebas nilai. Semuanya ada maunya, ada kepentingannya. Mau disebut buruh, pegawai, pekerja atau karyawan atau apapun. Tujuannya sederhana, untuk menciptakan dikotomi semata; agar tidak ada konsolidasi di antara mereka.

Buruh pun bisa pusing.

Karena puluhan tahun kerja, tetap saja tidak punya uanga banyak. Buruh pun selalu khawatir akan masa pensiunnya. Apalagi bila tiba-tiba di-PHK, diberhentikan. Buruh pasti pusing banget. Mau hidup sehari-hari pakai apa. Sementera si perushaaan belum tentu mau bayar hak-nya, bayar pesangon. Wajar, bila buruh punya rasa khawatir, rasa takut yang jauh melebihi anak sekolah yang ujian naik kelas. Atau atlet yang ketemu di final dengan musuh yang belum pernah dikalahkan.


Maka teka-teki pun terkuak.

Ada buruh yang mimpi pengen jadi pengusaha. Banyak pekerja pengen jadi majikan. Tapi di saat yang sama, banyak pengusaha pusing ngurusin buruhnya. Banyak perusahaan pusing karena pegawainya banyak. Tapi produktivitasnya rendah. Apalagi di tengah wabah Covid-19 begini. Pemasukan tidak ada tapi upah buruh harus tetap dibayar. Baik buruh maupun pengusaha pun sama-sama pusing. Paripurna pusingnya.

Jadi di "Hari Buruh" kita sedang menghormati apa? Atau mau lakukan apa? Tentu, jawabnya relatif. Tergantung pada si buruh. Hanya masing-masing buruh yang tahu jawabnya.


Sebagai buruh, saya hanya merefleksi diri.

Siapapun; baik buruh, pekerja, pegawai atau karyawan patut berpikir ulang. Untuk menggeser orientasi. Bahwa pekerjaan atau profesi apapun tidak semata-mata diukur dari material, bukan hanya upah. Termasuk tidka hanya pangkat atau jabatan. Tapi bekerja adalah aktualisasi diri; lebih ke soal moralitas, ke soal spiritualitas. Karena bekerja adalah anugerah sekaligus amanah yang patut disyukuri. Darma bakti yang harus dijalankan denganikhlas dan penuh kebaikan. Dan selebihnya, biar Allah SWT yang "bekerja" untuk si buruh.


Bila buruh pusing. Bisa jadi karena hidupnya terlalu diukur dari untung-rugi. Karena hidupnya lebih banyak mengeluh daripada bersyukur. Karena gaya hidupnya melebihi biaya hidupnya. Maka selagi masih jadi buruh, cukup terima apa adanya sambil terus bersyukur. Sementara yang jadi majikan atau pengusaha, ya tidak boleh sewenang-wenang. Tidak boleh merasa sok berkuasa. Agar buruh atau pengusaha bisa bersinergi, bisa "bertemu di jalan yang sama".


Bekerja hari ini, harusnya diukur dari nilai sosialnya, bukan hanya nilai materialnya. Bukankah bekerja juga untuk kemaslahatan umat; untuk kepedulian sesame. Bukan hanya untuk pangkat, untuk jabatan, untuk tunjangan dan sebagainya. Jadi berkah dari kerja itu apa sebenarnya?


Jadi, siapa itu buruh?

Buruh itu hanya status hanya simbol. Dan pekerjaan itu bukan hukuman. Melainkan anugerah dan kekuatan agar kita lebih berdaya dan lebih bermanfaat untuk orang lain. Selamat Hari Buruh #HariBuruh #Mayday

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun