Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menghamba pada Scopus, Ambyar

30 April 2020   21:54 Diperbarui: 30 April 2020   22:25 884
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang dosen, kawan saya sekampus pun menyebut "Sekarang ini banyak workshop dan konferensi ilmiah diadakan dengan iming-iming Scopus. Hal ini kemudian menjadi peluang bagi pihak-pihak tertentu dalam memfasilitasi dosen-dosen yang "mencintai" scopus, sehingga melahirkan slogan "banyak jalan menuju scopus". Scopus yang awalnya menjadi momok, ternyata bisa diakali. Banyak komunitas-komunitas dosen yang di dalamnya terselip promosi-promosi menawarkan jasa-jasa indeks scopus. Bahkan sampai menjadi bursa, kita tinggal tunjuk judul mana yang kita inginkan, bayar, dan sesaat kemudian nama kita sudah ber-scopus. Ikhtiar yang luar biasa.

Maka tentu, kita tidak perlu buru-buru bilang scopus tidak perlu. Mungkin perlu, asal cara-caranya objektif dan tidak keluar dari sikap ilmiah lagi dapat dipertanggungjawabkan. Nah, berpikirlah yang matang soal ini. Bagaimana bisa ber-indeks scopus. Tapi tidak membuat "kepala orang lain menggeleng-geleng" akibat bingung atau dalam hati bilang, kok bisa?.

Jadi, apa yang saya mau katakan di sini?

Saya hanya ingin katakan sama sekali tidak perlu "menghamba pada scopus, bisa ambyar".  Karena sekali lagi buat saya, scopus hanya produk kapitalisme. Sebuah upaya mengkomersialisasi intelektual. Lalu kenapa saya sudi untuk dikomersialisasi. Bila saya memang layak dan pantas di scopus ya silakan. Tapi bila tidak, harusnya scopus memberi tahu saya, apa kurangnya artikel ilmiah saya.

Lebih dari itu, menurut saya, persoalan scopus itu soal ujian tradisi akademik yang dimiliki siapapun. Boleh dosen boleh kampus. Seberapa besar tradisi akademik itu dibangun dalam diri sendiri. Saya menyebutnya "budaya literasi". Saya harus membaca, saya harus menulis, dan saya pun harus meneliti. Jadi saya cukup puas dengan karya ilmiah yang saya baca dan tulis asla rutin. Ketika budaya literasi itu ada pada diri saya, maka saya merasa sudah cukup. Soal scopus mau menghargai atau tidak, tentu itu bukan urusan saya. Karena buat saya pun, scopus bukan segalanya, bukan pula tuhan saya. Saya hanya menghamba kepada-Nya. Itulah integritas ilmiah yang harus saya jaga dan pelihara. Cukup ideal tapi harus ada ikhtiar dan perilaku nyata. Untuk apa saya punya scopus hebat, tapi tidak ada ciri budaya literasi dalam diri saya. Sering menulis pun tidak.

Scopus memang penting. Tapi proses untuk menjalaninya itu jauh lebih penting.

Maka sebagai akademisi, seharusnya kita tidak terjebak pada penghambaan kepada scopus yang tidak objektif, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Scopus dan jurnal internasional lainnya hanya media. Bukan segalanya. Maka intelektualitas harus dibangun atas dasar bukan hanya logika. Tapi harus melibatkan etika dan hati nurani. Dalam filsafat ilmu, kaum cendikia itu harunsya tidak hanya bertumpu pada ontologi dan epistomologi. Tapi jauh lebih penting, aksiologi; tentang nilai-nilai apa yang diperoleh dari kecerdasan itu sendiri dan apa manfaatnya buat orang lain?

Menurut saya, mahakarya intelektualitas harusnya berujung pada "khairun naas anfa'uhum lin nas - sebaik-baik manusia adalah orang yang paling banyak mendatangkan manfaat bagi orang lain''. Bila saya pandai, lalu apa manfaat kepandaian saya untuk orang lain?

Maka, jangan menghamba pada scopus, bisa ambyar. Bisa tidak jelas lagi sikap ilmiah dan intelektualitas kita ... Tabik #BudayaLiterasi #PegiatLiterasi

tbm-5eaae50ad541df5b276da682.jpeg
tbm-5eaae50ad541df5b276da682.jpeg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun