Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 47 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Apapun Disalahkan Saat Wabah Virus Corona, Awas Pikiran Lumpuh

17 April 2020   09:04 Diperbarui: 17 April 2020   09:15 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lumpuh. Sebelum meninggal dunia 3 tahun lalu. Ibu saya sakit dalam keadaan lumpuh. Selama sakit, saya tidak pernah bertanya. Kenapa ibu jadi sakit? Saya tidak pengen cari tahu, ibu saya makan apa lalu sakit dan lumpuh? Karena sakit itu ujian. Cobaan yang bisa terjadi kapan saja dan pada siapapun. Maka tugas saya, hanya merawatnya. Sambil ikhtiar untuk mengobati. Menjaga kondisi psikologisnya. Agar pikirannya tidak lumpuh.

Wabah virus corona Covid-19 yang melanda dunia pun demikian. Saya menganggap sebagai ujian, sekaligus cobaan. Maka saya merasa tidak perlu bertanya. Kenapa bisa terjadi di Indonesia? Apalagi saya harus menyalahkan orang lain? Atau nyinyir kepada pejabat negara? Sama sekali tidak perlu. 

Yang jelas, saya prihatin. Virus corona ini begitu cepat menyebar, bahkan mematikan. Dan maaf, saya hanya bisa #DiRumahAja sambil bantu orang lain yang saya bisa bantu. Karena virus ini musibah, alias bencana. Selain jaga kesehatan. Maka saya dan yang lainnya harus bisa jaga pikiran. Agar tidak lumpuh.

Karena lumpuh. Jadi sebab lemah, tidak bertenaga. Semuanya tidak lagi dapat berjalan sebagaimana mestinya. Sekolah lumpuh. Kampus lumpuh. Orang kerja pun lumpuh. Perekonomian lesu. Tiap hari, pasien corona terus bertambah. Tenaga medis terus berjuang. Polisi dan TNI pun turun ke jalan memastikan PSBB berlangsun efektif. Agar tidak terjadi "kelumpuhan total". Dan yang penting, tidak lumpuh pikiran.

Maka dalam situasi musibah begini. Agak aneh bila masih ada saudara-saudara saya yang pikirannya lumpuh. Penuh keluh-kesah. Gelisah. Takut dan panik berlebihan. Mentalitasnya menjadi "korban". Sehingga keadaan ini, sepertinya dibuat negara, dibuat orang lain.

Dalihnya mengkritisi, tapi praktiknya membenci. Pikirannya lumpuh. Akibat gagal untuk bersabar. Tidak mampu bersyukur. Sehingga gak bisa lagi bertahan dalam pikiran yang positif. Pengen sehat, pengen virus corona berlalu. Tapi sayang, pikirannya lumpuh. Hanya mencari yang jeleknya saja dari keadaan seperti begini.

Bila tidak mampu mengobati. Harusnya sih tidak perlu menambah luka.

Kasihan saudara-saudara kita yang ekonominya kian sulit di kondisi begini. Kasihan orang-orang yang kehilangan pekerjaan akibat wabah ini. Empati-nya hilang, peduli-nya omong kosong. Karena pikirannya lumpuh. Jangankan melihat sisi positif dari ikhtiar dan doa yang dilakukan orang lain. Mengambil hikmah dari keadaan musibah saja sulit. Pikirannya lumpuh. Akibat gagal melepaskan diri dari pikiran yang keliru. Terlalu tekun dalam memperjuangkan pikiran yang tidak sepenuhnya benar.

Maka di kaum pikiran lumpuh. Semuanya jadi negatif, seolah tidak ada harapan. Wajar, rasa takut, ragu, gelisah, dan benci selalu bersemayam di pikiran yang lumpuh. Tinggal tambahin sedikit takhayul, maka jadilah pikiran radikal yang bilang "keadaan ini akibat salahnya si A, si B". Pikirannya lumpuh.

Kok bisa pikiran lumpuh?

Tentu sangat bisa. Karena hidupnya selama ini enak. Maka tidak boleh ada keadaan yang bikin dia tidak enak. Sesederhana itu. Pikiran lumpuh itu biasanya terjadi pada mereka yang gagal memperjuangkan harapannya. Hidupnya jadi tidak realistis, dan empati-nya pun hilang.

Lumpuh. Akibat percaya betul pada akal -- logika semata. Tanpa diimbangi hati -- nurani. Sehingga "kebaikan" hanya jadi objek nafsu. Asalkan mimpi dan harapannya bisa terpenuhi. Dan dirinya terhindar dari kematian yang mengerikan. Saat pikiran lumpuh, maka orang lain hanya dilihat sebagai ancaman. Bukan teman berjuang untuk memperbaiki keadaan. Itulah, homo homini lupus.

Bagai balam dengan ketitiran, begitu kata pepatah.

Artinya kira-kira begini. Kita yang tidak tahu apa-apa. Tapi yang disalahin orang lain terus. Maka wajar, kesalahan orang lain yang sedikit tampak. Kesalahan sendiri yang besar tidak tampak. Dan akhirnya, selalu berselisih hingga tidak mampu lagi bersatu-padu.

Pikiran lumpuh. Mereka yang begitu khawatir atas apa yang dilakukan orang lain. Tapi dia sendiri tidak sedang mengerjakan apapun. Mereka yang lagi galau, ketika menuhankan akal tanpa melibatkan hati.

Wabah virus corona ini musibah. Inilah momentum untuk ikhtiar baik dan berdoa baik. Sakit untuk menebus salah dan dosa yang pernah kita perbuat. Sekaligus tanda "ujian" agar bangsa ini bisa naik kelas ke level yang lebih baik, dan lebih baik lagi. 

 Kita boleh #DiRumahAja. Tapi jangan sampai pikiran lumpuh. Bila tidak mampu mengobati, maka tidak perlu menambah luka. Buat saya, mendidik pikiran tanpa mendidik hati itu jelas omong kosong ... Mohon maaf lahir batin bila tidak berkenan #BudayaLiterasi #LawanVirusCorona

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun