Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Orang Indonesia Durasi Membaca 1 Jam Main Gawai 5 Jam, Artinya Apa?

15 April 2020   08:06 Diperbarui: 15 April 2020   17:04 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekalipun lagi #DiRumahAja saat wabah Covid-19, belum tentu baca,

Ini fakta. Orang Indonesia hanya punya durasi waktu membaca per hari rata-rata hanya 30-59 menit, kurang dari 1 jam. Tapi hebatnya, orang Indonesia mampu menghabiskan waktu bermain gawai hingga 5,5 jam sehari. Jadi, apa artinya? Artinya suka tidak suka, budaya literasi orang Indonesia dapat dikategorikan rendah. Wajar, masyarakat-nya pun tidak literat. Alias sulit bisa memahami keadaan, memampukan diri mengendalikan situasi. Budaya literasi adalah sikap untuk memahami dan memampukan keadaan, keterpahaman atas segala kondisi.  

Memang, membaca bukan satu-satunya indikator. Tapi membaca adalah landasan penting dalam menegakkan budaya literasi. Dengan durasi membaca kurang dari 1 jam sehari, menjadi bukti tradisi baca dan budaya literasi orang Indonesia masih jauh tertinggal. Sebagi pembanding, di negara maju rata-rata durasi waktu membaca bisa 6-8 jam per hari. Sementara standar Unesco menyebutkan durasi waktu membaca yang diharapkan tiap orang adalah 4-6 jam per hari.

Rendahnya tradisi baca dan budaya literasi orang Indonesia, pun bisa dilihat pada kurangnya sikap patuh terhadap imbauan pencegahan wabah virus corona. Tidak disiplin untuk #DiRumahAja, hindari kerumunan saat pembatasan sosial berskala besar. Contoh lainnya adalah maraknya hoaks atau berita bohong pada setiap event nasional, merebaknya ujaran kebencian, terlalu mudah tersulut emosi. Dan yang paling penting, tidak produktof karena lebih senang memperdebatkan masalah bukan menyelesaikan masalah. Itu semua bukti rendahnya budaya literasi orang Indonesia.

Pendidikan makin tinggi, teknologi makin melek. Tapi itu tidak menjamin budaya literasi di Indonesia makin baik. Orang makin kaya belum tentu makin peduli pada budaya literasi. Orang makin intelek pun tetap cuek pada budaya literasi kecuali untuk urusannya sendiri. Bahkan faktanya, tidak sedikit orang-orang pintar yang malah meninggalkan kegiatan literasi. Minimal, makin malas membaca, makin malas menulis.

Bak "angan-angan setinggi langit". Maka ada orang yang bilang, membangun tradisi baca dan budaya literasi di Indonesia seperti angan-angan. Memang benar, budaya literasi kian berat. Ketika banyak orang lebih sennag menonton TV daripada membaca. Lebih gemar main gawai daripada menulis. Akhirnya budaya literasi lebih sering diseminarkan daripada dilakukan. Agak sulit menjadikan budaya literasi sebagai gaya hidup. Kalah jauh daripada gaya hidup lainnya.

Maka, upaya terus menghidupkan tradisi baca dan budaya literasi di masyarakat sama sekali tidak boleh berhenti. Khususnya di kalangan anak-anak. Agar tidak tergilas oleh gempuran teknologi internet. Agar tidak terlena dengan gaya hidup instan yang tidak produktif. Inilah tantangan besarnya membangun tradisi baca dan budaya literasi orang Indonesia di tengah era digital.  

Berangkat dari keprihatinan terhadap tradisi baca dan budaya literasi itulah, di Kaki Gunung Salak Bogor, sebuah taman bacaan didirikan. 

Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka yang berlokasi di Desa Sukaluyu berjuang keras untuk menghidupkan tradisi baca dan budaya literasi anak-anak kampung. Agar anak-anak usia sekolah tetap dapat menikmati akses bacaan dan memiliki perilaku gemar membaca. 

Anak-anak yang lebih akrab dengan buku bacaan. Melalui model taman bacaan yang disebut "TBM-Edutainment", TBM Lentera Pustaka dalam 3 tahun terakhir ini telah menjadi tempat membaca bagi 60-an anak pembaca aktif. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun