Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Asesor Kompetensi Dana Pensiun - Mantan Wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pekerja Di-PHK atau Dirumahkan Akibat Virus Corona, Perhatikan 2 Hal Ini

5 April 2020   14:25 Diperbarui: 5 April 2020   14:43 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wabah virus corona Covid-19, bukan saja membuat seluruh dunia pontang-panting. Tapi sektor dunia usaha pun dibikin kocar-kacir. Perekonomian lesu, produksi menurun, pemasaran stagnan sementara pasar sepi. Akibatnya virus corona pun berdampak terhadap kondisi finansial perusahaan atau korporasi. Sementara pekerja harus tetap dibayarkan gajinya.

Bak buah simalakama. Sebut saja dunia usaha di sektor pariwisata, perhotelan, restoran, penerbangan, jasa transportasi, ojek online, jasa pengiriman, UMKM seperti usaha kuliner, dan event organizer. Kini bisnis mereka lesu, tidak ada klien atau pelanggan yang datang. Drop hingga 70%. 

Sementara kewajiban membayar gaji pekerja tetap berjalan. Konsekuensinya, harus ditempuh langkah efisiensi di kalangan pekerja. Dampak virus corona yang pasti terhadap pekerja adalah 1) pemutusan hubungan kerja (PHK) dan 2) pekerja "dirumahkan". Sangat prihatin bila sampai terjadi.

Dan betul saja terjadi. Sebagai contoh di DKI Jakarta sebagai daerah terdampak virus corona yang paling parah. Disnakertrans DKI Jakarta (4/4/2020) merilis setidaknya ada 88.835 pekerja di-PHK atau dirumahkan. Dari 11.104 perusahaan yang terdata. Terdiri dari: 72.770 pekerja dari 9.096 dirumahkan tapi tidak menerima upah dan 16.065 pekerja dari 2.008 perusahaan di-PHH. Sangat prihatin sekali lagi.

1. Lalu, apa yang harus diperhatikan pekerja saat di-PHK?

Saat ini acuan PHK adalah UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berlaku. Walaupun kini ada RUU Omnibus Law Cipta Kerja (RUU Ciptaker) yang sedang dibahas DPR. Bila di-PHK akibat virus corona, maka pekerja berhak mendapatkan uang pesangon. Uang pesangon adalah uang yang dibayarkan oleh pemberi kerja/pengusaha kepada pekerja, dengan nama dan dalam bentuk apapun, sehubungan dengan berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja, termasuk uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.

Uang pesangon itu wajib dibayarkan pengusaha, sesuai dengan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 156 Ayat (1) yang berbunyi: "Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK), pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima." 

Maka bila akibat wabah virus corona "terpaksa" mem-PHK pekerja karena alasan perusahaan merugi terus-menerus atau perusahaan pailit, maka karyawan berhak atas pesangon 1 kali PMTK (Peraturan Menteri Tenaga Kerja), yang artinya 1 kali ketentuan Pasal 156 Ayat 2,3,4 sesuai dengan masa kerja si pekerja. Ini berarti, hak pekerja yang di-PHK, meliputi: 1) Uang pesangon, 2) Uang penghargaan masa kerja, dan 3) Uang penggantian hak.

Namun, ada pula pekerja yang berhak mendapat uang pesaangon sebesar 2 kali PMTK, artinya pekerja berhak atas 2 kali ketentuan pesangon saat di-PHK, bila alasan PHK meliputi: 1) karena perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pengusaha tidak bersedia mempekerjakan pekerja/buruh, 2) karena perusahaan melakukan efisiensi, 3) karena pekerja/buruh meninggal dunia, ahli warisnya berhak atas 2 PMTK, 4) karena pekerja/buruh memasuki usia pensiun.

Namun pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh pada program pensiun, 4) karena PHK atas putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai syarat yang berlaku, dan 5) karena pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan. Itulah hal-hal yang patut diperhatikan pekerja bila mengalami PHK akibat wabah virus corona.

2. Lalu, bagaimana dengan pekerja yang "dirumahkan"?

Sebenarnya perundang-undangan yang ada, tidak mengatur atau memberi penjelasan tentang pekerja yang "dirumahkan". Dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja Massal ("SE 907/2004") pada butir f dinyatakan bahwa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) haruslah sebagai upaya terakhir, setelah dilakukan upaya berikut: "f. Meliburkan atau Merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu." 

Jadi, pekerja "dirumahkan" dapat diartikan meliburkan/membebaskan pekerja untuk tidak melakukan pekerjaan sampai dengan waktu yang ditentukan oleh perusahaan. Tentu, tujuannya untuk untuk mengurangi pengeluaran perusahaan atau karena tidak adanya kegiatan/produksi yang dilakukan perusahaan. Nah, masalahnya selama "dirumahkan", upah si pekerja dibayar atau tidak dibayar?

Oleh karena itu, pekerja yang "dirumahkan" bisa mengalami 2 (dua) kondisi sebagai berikut:

1. Pekerja dapat menerima upah secara penuh selama pekerja dirumahkan, kecuali telah diatur lain dalam Perjanjian Kerja peraturan perusahaan atau Kesepakatan Kerja Bersama.

2. Pekerja menerima upah secara tidak penuh agar namun perlu dirundingkan dengan pihak serikat pekerja dan atau para pekerja mengenai besarnya upah selama dirumahkan dan lamanya dirumahkan.

Maka patut diperhatikan, bila pekerja "dirumahkan" maka perusahaan dapat dapat membayarkan upah secara penuh 100% atau tidak penuh misalnya 50%, namun hal tersebut harus dirundingkan terlebih dahulu dengan serikat pekerja maupun pekerjanya serta disepakati bersama. 

Nah, apa yang saya ingin sampaikan dalam tulisan ini. Bahwa segala kondisi bisa saja terjadi di kalangan dunia usaha, di sektor bisnis apapun. Seperti pekerja yang di-PHK atau "dirumahkan" akibat wabah virus corona seperti sekarang ini. Maka prinsipnya, terkait dengan kompensasi pesangon harus ada 1) iktikad baik antara perusahaan dan pekerja dalam situasi tertentu dan 2) komunikasi yang efektif dan berhasil guna antara perusahaan dan pekerja, tentang rencana apapun demi penyelamatan bisnis yang lebih besar.

 Namun bila bercermin dari fakta yang terjadi di saat wabah virus corona ini, maka penting adanya "pendanaan sejak dini" terkait uang pesangon pekerja. Tiap perusahaan atau penguasah harusnya berani untuk memulai mendanakan sejak dini uang pesangon pekerja. Dana pesangon pekerja yang disisihkan setiap bulan melalui payroll dan dikelola pihak ketiga seperti DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan). 

Dari mana uangnya, tentu dari keuntungan yang diperoleh setiap tahunnya dialokasikan khusus untuk dana pesangon. Karena cepat atau lambat, uang psangon pasti dibayarkan perusahaan kepada pekerja. Entah akibat pekerja di-PHK, pensiun, atau meninggal dunia. Sehingga dana yang harus dibayarkan perusahaan ke pekerja sudah tersedia. Dengan begitu, cash flow perusahaan tidak terganggu dan tidak jadi masalah hokum perselisihan.

Karena faktanya, harus diakui, ada perusahaan yang tidak fair. Alias tidak mau membayar uang pesangon pekerja. Dengan berbagai alasan. Tapi intinya, karena perusahaan tidak punya uang yang cukup untuk membayar pesangon pekerja. Karena selama ini, perusahaan atau pengusaha tidak mendanakan uang pesangon atau pensiun pekerja secara disiplin. Sehingga saat dibutuhkan, dananya tidak tersedia.

Jadi, soal uang pesangon itu soal iktikad baik. Utamanya dari perusahaan kepada pekerja.

Dengan kejadian wabah virus corona, harusnya perusahaan sadar untuk mulai mendanakan pesangon pekerja. Agar terpisah dari "kantong" internal perusahaan itu. Dana pesangon atau dana pensiun pekerja harusnya "dikeluarkan" setiap bulan dan dikelola oleh lembaga yang kompeten.

"Dalam situasi sulit akibat wabah virus corona ini, memang perusahaan dan pekerja dihadapkan pada kondisi yang serba salah. Perusahaan tidak ada produksi, sementara pekerja harus tetap dibayar. Maka ke depan, penting bagi perusahaan untuk mulai mencadangkan dana pesangon taua dana pensiun pekerjanya ke pihak ketiga yang kompeten, seperti DPLK" ujar Syarifudin Yunus, Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK sekaligus Edukator Dana Pensiun.

Ketahuilah, cepat atau lambat, uang pesangon pasti dibayarkan. Masalahnya, sudahkan perusahaan atau pengusaha mendanakannya sejak dini .... #ProgramPesangon #EdukasiPensiun #EdukatorDanaPensiun

*catatan, artikel ini juga tayang di laman klikanggaran.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun