Padahal di negeri doyan kisruh itu. Orang miskin masih banyak. Pengangguran pun lumayan. Gedung sekolah tidak layak pun banyak. Bangunan mangkrak terkuak. Korupsi sudah jadi tradisi. Anak-anak yang terancam putus sekolah pun melimpah. Bahkan kaum buta huruf pun masih ada. Lalu, untuk apa kisruh? Bila tidak bisa bertindak, tentu lebih baik tidak galak. Agar tidak makin kisruh.
Kisruh, dalam tafsir disebut "Jidal". Istilah untuk orang-orang yang suka bertengkar. Mereka yang gemar mempertontonkan perselisihan. Agar negerinya kacau-balau, makin berantakan. Segal hal diributkan. Si A bilang membela kebenaran. Si B pun berjuang keras mempertahankan kebatilan. Lalu rakyatnya makin bingung. Siapa yang benar siapa yang salah? Itulah kehidupan di negeri doyan kisruh.
Hanya di negeri doyan kisruh.
Perdebatan, pertengkaran, ketidakcocokan, ketidaksabaran hingga air mata seakan jadi impian. Realitas harus dilawan dengan kecurigaan. Kebenaran pun bertengkar dengan prasangka. Hingga lupa, kekisruhan akan berakhir pada kehancuran dan kebinasaan.
Sungguh, negeri yang damai itu bukan tanpa masalah. Tapi rakyat di negeri itu yang terampil mengelola masalah. Tanpa curiga tanpa prasangka. Bukan negeri doyan kisruh.Â
Maka untuk tidak kisruh. Mulailah dari diri sendiri. Untuk lebih mencintai toleransi dan harmoni. Karena masih ada jalan untuk menyatakan kebenaran dengan cara yang lebih apik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI