Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Asesor Kompetensi Dana Pensiun - Mantan Wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku diantaranya JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Memaksa Isi Kepala Anak, Lupa Mendidik Akhlak

23 Januari 2020   09:04 Diperbarui: 23 Januari 2020   09:15 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak orang tua "memaksa" mengisi kepala anaknya. Hingga lupa mendidik akhlaknya.

Anak-anak sering kali "dipaksa" untuk mendapat nilai sempurna. Tapi di saat yang sama, mereka diabaikan mentalitasnya. Anak disuruh sekolah yang rajin, ikut les. Tambah lagi privat di rumah. Sementara emosional dan spiritualnya kosong. Kasihan ya anak-anak.

Memang edan. Hidup di zaman edan. Pendidikan tidak lagi  merdeka. Belajar bukan atas "kerelaan". Tapi atas paksaan. Orang dewasa yang "memaksa" anak-anak. Sungguh bisa jadi, anak-anak itu di bawah tekanan orang tua dan guru sekalipun.

Terlalu memaksa.

Hidup di zaman now, memang harus siap "dipaksa" atau "memaksa". Memaksakan kehendak kepada orang lain. Bahkan tidak sedikit orang yang "memaksa diri". Agar dibilang hebat,dibilang keren. Bahkan dibilang kaya alias borju. Hidup dalam keterpaksaan, mungkin indah di mata mereka.

Saking senangnya memaksa.

Tidak sedikit orang yang memaksakan keyakinannya pada orang lain. Semuanya harus berprinsip sama. Agak aneh. Bila tidak bisa sama, kenapa memaksa untuk tidak boleh beda?

Memaksakan diri. Hidup tidak lagi berdasar kemampuan. Tapi berlandaskan kemauan. Terlalu memaksa akhirnya jadi merana. Seperti kaum jomblo yang terus memaksakan cintakan. Hingga akhirnya terluka ...

Memaksa, itulah yang terjadi di zaman now.

Banyak orang bekerja keras siang malam. Untuk memperoleh uang. Tapi di saat yang sama, mereka gagak "memaksakan diri" untuk menabung. Wajar bila hidupnya "lebih besar pasak daripada tiang".

Kenapa harus memaksa? Bila hidup di dunia cuma sebentar saja. Apalagi yang perlu dipaksa. Selain ibadah untuk mempersiapkan bekal "pulang". Toh, sehebat apapun sekaya apapun ujung-ujungnya berakhir di kuburan. Jadi, tidak usah memaksa. Apalagi memaksakan kehendak, memaksa orang lain untuk bertindak seperti yang kita mau.

Betapa banyak hari ini, orang yang memaksa orang untuk bertindak seperti yang kita pikirkan. Hingga akhirnya, berakhir luka.

Sungguh, apapun yang dipaksa pasti menimbulkan luka.

Punya uang sedikit, tapi memaksa beli barang yang mahal. Pengen punya pacar yang ganteng, ternyata akhlaknya bobrok. Pengen kerja di kantor yang bagus, tapi susananya tidak nyaman. Semua karena terpaksa. Hingga akhirnya luka. Berujung penyesalan tanpa bisa menikmati hidupnya sendiri.

Manusia sering lupa.

Allah Yang Maha Tahu saja tidak pernah memaksakan kehendak-Nya atas hidup umatnya. Manusia bebas memiliki jalan hidupnya. Allah hanya berikan rambu-rambu. Terserah, mau jadi baik atau buruk?

Ada pepatah Arab yang bilang, "likulli maqoolin maqoomun wa likulli maqoomin maqoolun". Artinya "setiap perkataan itu ada tempatnya dan tiap tempat ada perkataannya". Jadi tidak usah memaksa, sesuaikan saja perkataan dengan tempat berada. Ajaran rumah tidak perlu di bawa ke kantor. Ajaran kantor pun tidak usah dibawa ke rumah. Apalagi ajaran media sosial yang sangat maya. Kenapa harus dipaksa ke orang lain. 

Maka, jangan memaksa untuk hal yang tiada guna. Anda tidak memberi makan orang lain, maka tidak perlu memaksa orang lain. Dan akhirnya, sungguh tidak perlu memaksakan hati. Biarkan kebenaran menelusup lalu mencairkan segala yang membeku... #JanganMemaksa #BudayaLiterasi

Dokpri
Dokpri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun