Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Asesor Kompetensi Dana Pensiun - Mantan Wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku diantaranya JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Musim Hujan Tanda Musim Silat Lidah; Narasi Bukan Aksi

12 Januari 2020   06:09 Diperbarui: 12 Januari 2020   06:19 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pesilat lidah itu bisa jadi orang bingung. Karena tidak paham, apa yang dibantah dan kenapa harus dibantah? Bukan apa yang dikerjakan dan kenapa harus dikerjakan?

dokumen pribadi
dokumen pribadi
Drama "silat lidah" bisa jadi tidak akan berkesudahan. Silat lidah itu "pertarungan" yang tak akan pernah usai. Seperti orang-orang di warung kopi, makin banyak berdalih makin asyik. Makin mahir memutar balik fakta, makin keren. Makin banyak berdali dianggap makin pintar. Apalagi di medsos, para tifosi politik pun pandai bersilat lidah. Suguhan silat lidah makin membahana di era yang katanya makin canggih.

Musim hujan tanda musim silat lidah.

Karena pesilat lidah memang sangat pandai menyembunyikan fakta-fakta yang merugikan dirinya. Tapi hebatnya, mereka mampu menonjolkan hal-hal yang menguntungkan dirinya. Selalu ada segudang 'amunisi' argumen untuk berdalih, untuk memutar balik perkataan. Apalagi terhadap lawan poltik atau orang yang tidak disukainya.

Bukan bersilat lidah namanya. Bila gak punya jurus untuk berkelit untuk berdalih. Semua saran dan masukan, harus dilawan dengan narasi bukan aksi. Asal musuhnya, apapun harus dibantah. Asal temannya, salah pun jadi benar. Itulah kaum pesilat lidah.

Hati-hati, saat bersilat lidah. Orang yang tahu sedikit pun bertindak seperti tahu banyak. Kerjaannya guru, tapi komentarnya tentang politik. Kerjaannya main medsos, tapi komentarin pemerintahan. Pesilat lidah sering lupa. Apa yang terjadi hari ini adalah hasil dari proses di masa lampau. Aneh bin ajaib, kaum pesilat lidah. Hanya di mata kaum pesilat lidah, bangunan kokoh yang bertengger puluhan tahun pun dengan mudahnya diruntuhkan dalam sekejap.

Sungguh, silat lidah itu bak perdebatan yang menyesatkan hati dan mempusakai kedengkian, begitu kata Malik bin Anas. Maka pantas, hampir semua orang yang pandai bersilat lidah itu pasti berakhir pada kebencian. Sejatinya, "sedikit sekali lidah itu berlaku adil kepada siapapun, baik dalam menyebarkan keburukan maupun kebaikan".

Sungguh, silat lidah itu tak lebih dari kemasan bukan gagasan. Tak lebih dari mimpi bukan implementasi. Asal ngomong tapi isinya kosong. Seperti kata indah Ali bin Abi Thalib "lidah orang yang berakal itu ada di belakang hatinya; sedangkan hati orang bodoh berada di belakang lidahnya". Salam silat lidah #BudayaLiterasi #SilatLidah

dokumen pribadi
dokumen pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun