Gaya hidup bisa dikenali dari cara menghabiskan waktunya (aktivitas), lalu apa apa dianggap menyenangkan di mata orang lain (minat). Agar terbentuk apa yang orang pikirkan tentang dirinya (opini). Jadi, gaya hidup bertujuan hanya untuk mendongkrak citra diri dan status sosialnya.
Agar masyarakat paham. Bahwa gaya hidup yang berpotensi jadi masalah harus dihindari. Caranya, harus dimulai dari diri sendiri. Mulai membenahi dan mengendalikan diri. Bahwa gaya hidup hanya bersifat kamuflase. Perilaku yang hadir akibat gengsi dan eksistensi sosial. Mereka yang "gagal memahami" tentang sikap, konsep diri, motif, persepsi bahkan pergaulan dalam hidup.
Literasi gaya hidup. Agar paham bahwa tiap orang punya  perilaku budaya yang berbeda. Kelas sosial pun beda. Bahkan pekerjaan dan kadar kemampuan keuangan pun tidak sama. Itu artinya, gaya hidup harus disesuaikan, bukan dipaksakan.Â
Karena gaya hidup yang berlebihan atau dipaksakan, biasnya punya implikasi buruk pada diri penganutnya seperti:
1. Hidupnya boros demi gengsi dan status sosial
2. Terjebak lilitan utang yang tak berkesudahan
3. Gagal menekan biaya hidup sendiri
4. Tidak memiliki uang tabungan atau cadangan
5. Tingkat kepemilikan aset rendah
6. Rentan depresi dan stress
7. Bertumpu pada keinginan bukan kebutuhan
Biar tekor asal kesohor, begitulah motto pemilik gaya hidup berlebihan.
Berjiwa konsumtif, berperilaku hedonis. Sementara rumah masih cicil atau sewa. Kendaraan masih kredit. Biaya sekolah anak terbengkalai. Membeli barang yang tidak dibutuhkan.Â
Lalu hidup penuh keluhan, stres dan depresi. Sungguh, itu semua terjadi karena gaya hidup yang berlebihan, gaya hidup yang dipaksakan.
Literasi gaya hidup, tentu bukan untuk mengekang kebebasan. Apalagi mencampuri urusan orang lain. Tapi Justru untuk menambah bobot dan kualitas pengendalian diri dalam menyikapi dinamika peradaban. Agar tidak terjebak pada gaya hidup yang berlebihan. Semakin meningkat gaya hidup, maka semakin tinggi risiko ekonominya. Maka literasi gaya hidup, hanya ingin mengajak sikap dan perilaku masyarakat kembali pada realitas bukan harapan.
Literasi gaya hidup, sejatinya bukan sekadar pengetahuan apa dan bagaimana hidup. Tapi soal cara memahami dan memampukan diri dalam hidup. Agar punya kesadaran untuk menjadikan hidup lebih baik, lebih bermanfaat.Â