Tiap 8 September diperingati Hari Aksara Internasional. Memang saat ini, tren angka buta aksara di Indonesia terus menurun. Namun 3,4 juta penduduk yang masih buta aksara tentu bukan angka yang kecil. Ada 2,7% dari jumlah penduduk Indonesia yang masih belum melek aksara.
Ini indikator sederhana untuk menyatakan program pendidikan belum sepenuhnya berhasil. Bahkan program wajib belajar yang digaungkan puluhan tahun pun sepertinya tidak akan pernah tuntas.
Agak kontradiksi, kemudian dimunculkan Gerakan Literasi Nasional (GLN) sebagai siprit untuk menggalakkan budaya literasi. Hipotesisnya, mana mungkin gerakan literasi bisa berjalan bila masih ada kaum buta aksara? Sementara di luar sana, jutaan orang berebut untuk mendapat "bangku" di perguruan tinggi. Untuk mengejar cita-cita setinggi mungkin. Agar mampu bersaing dan tidak terlindas laju peradaban zaman yang disesaki teknologi canggih. Tapi kaum buta aksara, tetap menjadi warga yang tidak terperhatikan. Warga yang tersisih dan kian terpinggirkan dari "hantu" keaksaraaan.
Buta aksara sama sekali bukan soal sepele
Berdasarkan pengalaman saya sebagai penggagas Gerakan BERantas Buta aksara (Geberbura) di Kaki Gunung Salak Bogor, sangat jelas pengaruh orang tua yang buta aksara jadi sebab utama anak putus sekolah.Â
Bila si anak putus sekolah, maka artinya akan mencetak generasi buta aksara baru di kemudian hari. Belum lagi ditambah persoalan kemiskinan. Sementara sekolah di negeri ini belum semuanya gratis. Inilah problematika keaksaraan sesungguhnya di Indonesia.
Belum lagi ditambah masalah kemiskinan dan pengangguran. Hal inilah yang memicu rendahnya indeks pembangunan manusia (IPM). Maka bila masih ada buta aksara, pasti IPM-nya pun rendah.
Keaksaraan, sebagai kampanye untuk mengembangkan kemampuan warga agar terampil membaca, menulis, berhitung, dan kemampuan literasi lainnya tidak dapat dianggap sepele.Â
Sulit mewujudkan masyarakat literat, bila masih ada yang buta aksara. Menurut saya, maraknya hoaks maupun fitnah yang terjadi, sungguh lebih disebabkan faktor tingkat literasi masyarakat yang rendah.Â
Karena hakikatnya, hanya masyarakat yang literat yang mampu memilah setiap informasi yang diterima secara kritis. Bisa menimbang informasi bermanfaat atau tidak.Â
Bukan malah sebaliknya, tanpa diseleksi langsung bereaksi secara emosional lalu menyebarluaskannya. Masyarakat literat itu masyarakat yang paham manfaat atau tidak dari suatu informasi.
Terlepas dari program keaksaraan yang sudah dijalankan selama ini. Setidaknya, ada 3 (tiga) problematika yang mengungkung keaksaraan penduduk Indonesia.
Pertama, tidak akuratnya data penyandang buta aksara di Indonesia. Karena faktanya, di daerah-daerah yang tidak jauh dari Jakarta pun masih ada warga yang buta aksara. Ada wilayah spasial yang harus didata dengan benar, bukan asal sebut apalgi dimanipulasi.
Kedua, masih kurangnya kesadaran masyarakat untuk belajar keaksaraan. Agar terbebas dari buta aksara. Jika mau jujur, banyak prpgram pemberantasan buta aksara yang tidak tuntas. Alasan sibuk, gengsi, malu adalah kendala utama. Maka perlu ada insentif bagi program keaksaraan.
Ketiga, kurangnya koordinasi antara aparatur pemerintah, baik di level provinsi-kabupaten-kecamatan-desa. Sehingga tidak terjalin komunikasi yang optimal. Dan konsekuensinya, program keaksaraan pun terbengkalai, tidak pernah tuntas.
Ketiga problematika itulah, jika mau jujur, sebagai penyebab tidak efektif dan efisiennya program keaksaraan nasional. Akhirnya, data dan informasi tentang program keaksaraan di manipulasi dan dananya diselewengkan.
Maka tidak ada alasan lain. Tuntaskan dulu soal buta aksara. Baru kemudian, kita gadang-gadang tentang masyarakat literat. Agar "tak jauh panggang dari api". Salam Hari Aksara Internasional #GeberBura #TBMLenteraPustaka #BudayaLiterasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H