Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 49 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

3 Problematika Buta Aksara, Kamuflase Masyarakat Literat

9 September 2019   07:03 Diperbarui: 9 September 2019   07:06 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tiap 8 September diperingati Hari Aksara Internasional. Memang saat ini, tren angka buta aksara di Indonesia terus menurun. Namun 3,4 juta penduduk yang masih buta aksara tentu bukan angka yang kecil. Ada 2,7% dari jumlah penduduk Indonesia yang masih belum melek aksara.

Ini indikator sederhana untuk menyatakan program pendidikan belum sepenuhnya berhasil. Bahkan program wajib belajar yang digaungkan puluhan tahun pun sepertinya tidak akan pernah tuntas.

Agak kontradiksi, kemudian dimunculkan Gerakan Literasi Nasional (GLN) sebagai siprit untuk menggalakkan budaya literasi. Hipotesisnya, mana mungkin gerakan literasi bisa berjalan bila masih ada kaum buta aksara? Sementara di luar sana, jutaan orang berebut untuk mendapat "bangku" di perguruan tinggi. Untuk mengejar cita-cita setinggi mungkin. Agar mampu bersaing dan tidak terlindas laju peradaban zaman yang disesaki teknologi canggih. Tapi kaum buta aksara, tetap menjadi warga yang tidak terperhatikan. Warga yang tersisih dan kian terpinggirkan dari "hantu" keaksaraaan.

Buta aksara sama sekali bukan soal sepele
Berdasarkan pengalaman saya sebagai penggagas Gerakan BERantas Buta aksara (Geberbura) di Kaki Gunung Salak Bogor, sangat jelas pengaruh orang tua yang buta aksara jadi sebab utama anak putus sekolah. 

Bila si anak putus sekolah, maka artinya akan mencetak generasi buta aksara baru di kemudian hari. Belum lagi ditambah persoalan kemiskinan. Sementara sekolah di negeri ini belum semuanya gratis. Inilah problematika keaksaraan sesungguhnya di Indonesia.

Dokpri
Dokpri
Padahal semua sepakat. Bahwa di era digital dan revolusi industri sekarang, membangun generasi dan masyarakat yang literat mutlak dibutuhkan.  Agar mampu bersaing dan tidak tergilas peradaban. Buta aksara adalah penyebab rendahnya tingkat literasi. 

Belum lagi ditambah masalah kemiskinan dan pengangguran. Hal inilah yang memicu rendahnya indeks pembangunan manusia (IPM). Maka bila masih ada buta aksara, pasti IPM-nya pun rendah.

Keaksaraan, sebagai kampanye untuk mengembangkan kemampuan warga agar terampil membaca, menulis, berhitung, dan kemampuan literasi lainnya tidak dapat dianggap sepele. 

Sulit mewujudkan masyarakat literat, bila masih ada yang buta aksara. Menurut saya, maraknya hoaks maupun fitnah yang terjadi, sungguh lebih disebabkan faktor tingkat literasi masyarakat yang rendah. 

Karena hakikatnya, hanya masyarakat yang literat yang mampu memilah setiap informasi yang diterima secara kritis. Bisa menimbang informasi bermanfaat atau tidak. 

Bukan malah sebaliknya, tanpa diseleksi langsung bereaksi secara emosional lalu menyebarluaskannya. Masyarakat literat itu masyarakat yang paham manfaat atau tidak dari suatu informasi.

Terlepas dari program keaksaraan yang sudah dijalankan selama ini. Setidaknya, ada 3 (tiga) problematika yang mengungkung keaksaraan penduduk Indonesia.

Pertama, tidak akuratnya data penyandang buta aksara di Indonesia. Karena faktanya, di daerah-daerah yang tidak jauh dari Jakarta pun masih ada warga yang buta aksara. Ada wilayah spasial yang harus didata dengan benar, bukan asal sebut apalgi dimanipulasi.

Kedua, masih kurangnya kesadaran masyarakat untuk belajar keaksaraan. Agar terbebas dari buta aksara. Jika mau jujur, banyak prpgram pemberantasan buta aksara yang tidak tuntas. Alasan sibuk, gengsi, malu adalah kendala utama. Maka perlu ada insentif bagi program keaksaraan.

Ketiga, kurangnya koordinasi antara aparatur pemerintah, baik di level provinsi-kabupaten-kecamatan-desa. Sehingga tidak terjalin komunikasi yang optimal. Dan konsekuensinya, program keaksaraan pun terbengkalai, tidak pernah tuntas.

Ketiga problematika itulah, jika mau jujur, sebagai penyebab tidak efektif dan efisiennya program keaksaraan nasional. Akhirnya, data dan informasi tentang program keaksaraan di manipulasi dan dananya diselewengkan.

Maka tidak ada alasan lain. Tuntaskan dulu soal buta aksara. Baru kemudian, kita gadang-gadang tentang masyarakat literat. Agar "tak jauh panggang dari api". Salam Hari Aksara Internasional #GeberBura #TBMLenteraPustaka #BudayaLiterasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun