"Saya tidak bisa menulis" begitu kalimat sakti yang sering diucapkan.Â
Menulis ilmiah sering dijadikan momok. Banyak orang atau mahasiswa tidak suka menulis. Menulis pun jadi kegiatan yang menakutkan. Menulis ilmiah dianggap sesuatu yang sulit. Entah karena memang malas atau jarang menulis.
Tidak sesuai harapan, alias jauh panggang dari api.
Begitu realitas menulis ilmiah di kalangan mahasiswa dan dosen. Menulis hanya sebatas diskusi, tanpa eksekusi. Menulis hanya dipandang sebagai pelajaran, bukan perbuatan. Lagi-lagi, menulis hanya sebatas teori bukan praktik. Terlalu banyak masalah yang dihadapi untuk meningkatkan kemampuan menulis ilmiah. Seolah, banyak masalah di sekitar menulis ilmiah.
Faktanya, memang tidak banyak artikel atau jurnal ilmiah yang dilahirkan. Publikasi ilmiah pun sangat rendah. Akibat menulis ilmiah yang terabaikan. Sebagai contoh, Indonesia tergolong lemah dalam publikasi ilmiah di jurnal internasional. Berdasarkan data Kemeristekdikti, kontribusi tulisan ilmiah Indonesia hanya 8-9 artikel per satu juta penduduk. Sementara di India mencapai 12 artikel per satu juta penduduk. Padahal, India jumlah penduduknya jauh lebih besar dari Indonesia, lebih dari 1,1 miliar orang. Dibandingkan negara-negara ASEAN, Indonesia pun berada di posisi lebih rendah dari Malaysia, Singapura, atau Thailand. Semua itu adalah bukti rendahnya tradisi menulis ilmiah di Indonesia. Sementara di negara-negara maju, rata-rata publikasi ilmiah sekitar 1.000 hingga 6.000 artikel per satu juta penduduk. (Okezone.com; 28/8/2015).
Bagaimana dengan menulis ilmiah di kampus?
Peringkat menulis jurnal ilmiah kampus di Indonesia pun tergolong rendah. Datanya, Indonesia berada di peringkat 64 dengan 13.000 jurnal. Bandingkan dengan Singapura di peringkat 32 dengan 109.000 jurnal.Â
Malaysia di peringkat 43 dengan 55.000 jurnal. India menempati peringkat 10 dengan 533.000 jurnal. Jumlah kampus di Indonesia yang terindeks Webometrics ada 352 kampus, sedangkan jumlah jurnal yang dihasilkan hanya 13.000. Itu  berarti rata-rata per kampus hanya 37 jurnal. Maka, silakan diartikan sendiri data tersebut?
 Menulis ilmiah, apa masalahnya jika begitu?
Sederhana saja. Karena menulis ilmiah belum menjadi perilaku. Dari dulu hingga kini, menulis ilmiah hanya cukup dipelajari tanpa dipraktikkan. Bila sehari-hari, dekat dengan kegiatan ilmiah. Mulai dari kuliah, membuat makalah, berdiskusi, melakukan presentasi, menulis proposal, penelitian hingga menulis skripsi, tesis atau disertasi. Lalu mengapa belum mau menulis ilmiah?
Tahun 2018 lalu, saya pernah survei tentang menulis ilmiah di kalangan mahasiswa. Tentang kesadaran menulis ilmiah sebagai perilaku. Dari 100 mahasiswa yang memberi respon, hasilnya cukup kontradiktif. Ada kesan tidak konsisten.Â