Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Asesor Kompetensi Dana Pensiun - Mantan Wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku diantaranya JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Kenapa Belajar Jurnalistik?

2 September 2019   20:16 Diperbarui: 15 April 2021   16:48 1346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Zaman now itu sulit berpihak pada kebenaran. Karena semua, ada di atas kepentingan. Maka di situlah peradaban tumbang.

Bila ada ujung tombak kebenaran di era digital, bisa jadi salah satunya adalah jurnalistik.

Belajar jurnalistik itu penting. Tentu bukan untuk jadi wartawan. Apalagi mau jadi pemimpin redaksi. Tapi belajar jurnalistik, sungguh untuk tahu caranya berpihak pada kebenaran.

Karena jurnalistik yang hingga hari ini masih berani mengajarkan tentang sikap independen, berlaku netral, selalu akurat, niat jujur, dan perilakunya benar. Karena bisa jadi, hari ini susah mencari sosok atau dunia kehidupan seperti 5 prinsip jurnalistik itu.

Bisa "independen" itu susah sekarang. Ingin "netral" pun banyak godaannya. Berkata atau menulis yang "akurat" itu sulit. Mau "jujur" pun tidak mudah. Apalagi bertindak "benar" pasti bisa banyak musuhnya. Realitasnya, kata banyak orang, nyata-nyata memang susah. Tapi, jangan sampai kita tidak tahu prinsip jurnalistik yang masih sangat relevan hingga sekaran. Independen, netral, akurat, jujur, dan benar.

Karena itu, belajar jurnalistik itu penting. Karena hakikatnya, kita sedang belajar nilai-nilai yang sudah langka di era revolusi industri. Atau era digital, apapun namanya.

Bila hari ini, makin banyak orang yang berani memfitnah, menyebarkan hoaks, menghasut, memprovokasi, apalagi menebar kebencian. Sungguh, hanya karena mereka tidak pernah belajar jurnalistik. Atau setidaknya "melupakan" jurnalistik.

Jurnalistik memang dekat dengan dunia wartawan. Makanan sehari-harinya pun berita. Jurnalistik bukan hanya soal koran, majalah, radio, televisi atau media online. Sekali lagi bukan. Jurnalistik itu sebuah cara berpikir. Berpikir tentang kebenaran, berpikir tentang objektivitas.

Makanya saat meliput, wartawan harus pandai bertanya, menggali informasi, meng-investigasi atau bahkan menulis berita. Tapi itu semua hanya tuntutan keterampilan dalam menjalankan profesionalisme sebagai jurnalis. Bila masih banyak orang mau baca, mau tonton atau mau dengar. Itu semua karena jurnalistik masih jadi "lembaga" yang dianggap independen, netral, akurat, jujur, dan benar. Bertanyalah, apakah kita sekarang masih memiliki nilai-nilai jurnalistik itu?

Makanya jurnalistik hadir bukan untuk menyesatkan. Melainkan untuk memperlihatkan kebenaran. Agar publik bisa lebih berdaya, bisa bersikap atas keadaan yang terjadi. Sekalipun sebagian pihak mencapai objektivitas jurnalistik, tentu itu tidak masalah. Karena faktanya, hari ini semua dianggap berdiri di atas kepentingan. Sah-sah saja. Tapi bila kita mau belajar, apa yang diperoleh dari jurnalistik? Ya itu tadi, nilai-nilai dan keberpihakan pada yang benar.

Jurnalistik itu karya besar yang dapat mengubah nasib suatu bangsa. Jurnalistik itu mampu mengubah "orang biasa" jadi "orang tenar", dan sebaliknya "orang tenar" jadi "orang biasa". Suka tidak suka, semua itu akibat karya jurnalistik.

Betul kata Napoleon Bonaparte yang bilang "Saya lebih cemas dimusuhi empat buah koran (wartawan) daripada seribu bayonet." Itu bukan omong kosong. Itu sinyal akan pentingnya tahu dan belajar jurnalistik.

Maka dari itu, saat belajar jurnalistik. Siapapun harus sadar pentingnya nilai-nilai kehidupan. Untuk tetap independen, netral, akurat, jujur, dan benar. Nah bila sudah sadar, tuliskanlah dengan baik dan publikasikanlah. Karena ditulis tanpa dipublikasikan tidak ada guna. Menulis untuk jurnalistik adalah bukti adanya dialog ilmu dan perilaku. Agar terampil dalam jurnalistik.

Belajar jurnalistik tidak perlu diperdebatkan. Antara teori dan praktik. Tapi jauh lebih penting mencari "titik temu" antara teori dan praktik yang berbasis realitas, keadaan objektif di lapangan di medan berita.

Harmoni antara teori dan praktik jurnalistik itulah yang harus diciptakan sekarang. Itulah yang disebut sebagai Jurnalistik Terapan. Sebuah pertemuan antara teori dan praktik. Sebagai dasar belajar jurnalistik.

Buku "Jurnalistik Terapan" karya Syarifudin Yunus, dosen Universitas Indraprasta PGRI kini sudah cetakan ke-4. Sungguh layak jadi acuan bagi siapapun yang ingin mendekati jurnalistik. Sebuah cara sederhana memahami jurnalistik disajikan di buku yang telah menjadi pilihan banyak mahasiswa non-jurnalistik seantero Indonesia.  

Bila hari ini kita menjadi lebih tahu dari sebelumnya, maka itu buah perbuatan jurnalistik.

Berpihaklah pada kebenaran. Karena dalam setiap kebenaran, selalu ada telinga yang mendengar. Seperti selalu ada hati buat yang menerima cinta. Selamat belajar jurnalistik, tabik #JurnalistikTerapan #SyaraifudinYunus

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun