Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hidup Banyak Gaya Banyak Tekanan

20 Agustus 2019   08:15 Diperbarui: 20 Agustus 2019   14:44 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jadi orang biasa-biasa saja. Gak usah banyak gaya. Biar bisa nikmatin hidup. Begitu kata orang kampung.

Persis. Gak usah banyak gaya.
Kata Ilmu Fisika "tekanan dan gaya itu berbanding lurus". Artinya, banyak gaya banyak tekanan. Orang kalau hidup banyak gaya "berpotensi" besar bakal banyak tekanan. Tekanan ini, tekanan itu, tekanan cicilan, tekanan utang, sama tekanan gaya hidup. Tertekan karena banyak gaya.

Apalagi di zaman now.bila gam hati-hati, banyak orang terbawa arus "gaya hidup" yang berlebihan. Nafsu konsumtif dan berlagak hedonis. Hidup dasarnya cuma pengen dibilang keren. Banyak orang lupa, keren itu di mata Allah SWT. Bukan di mata manusia. Akibat kebanyakan gaya. Maka akhirnya banyak tekanan.

"Sudahlah, kamu gak usah banyak gaya" begitu kata orang tua zaman dulu.

Emang kenapa sih kalau banyak gaya? Bisa jadi, kalau banyak gaya jadi banyak tekanan. Gaya hidup-nya kegedean. Sementara mampunya segini doang. Gak nguber alias gak nutup, kalo kata orang jalanan. "Lebih besar pasak daripada tiang" kata pepatah gitu. Bujug buneng ...

Masih ingat kasus First Travel gak? Itu terjadi karena laki bini si pemilik kebanyakan gaya. Bisnis udah benar. Tapi karena kebanyakan gaya dan "mabuk harta" akhirnya berantakan. Orang udah setor uang buat umroh gak jafi berangkat. Si laki bini pun kini mendekam di penjara. Ahh, itu semua karena kebanyakan gaya.
Ada banyak kasus di masyarakat. Karena banyak gaya akhirnya hidup orang jadi ambruk. Kacau-balau hingga bermental "pengemis". Semua itu terjadi atas 2 kemungkinan sebabnya. 1) Karena "over kapasitas" alias tidak mampu tapi dipaksa mampu. 

Terlalu nafsu mengikuti gaya hidup dan kebanyakan melihat pada, orang lain, bukan pada diri sendiri. 2) Karena "kebanyakan gaya". Gayanya sebakul padahal kemampuannya sedikit. Lebih besar pasak daripada tiang. Hidupnya tidak asli, tidak orisinal. Sederhana cuma jadi narasi, bukan gaya hidup. Wajar utang sana-sini, pusing tujuh keliling tiap gajian.

Banyak gaya memang banyak tekanan.
Manusia sering lupa. Gaya hidup sederhana itu sikap. Bukan berarti miskin. Buat apa beli barang yang tidak butuh. Buat apa bergaya hidup cuma ikut-ikut orang. Sederhana itu kebiasaan hidup yang jadi perilaku. Bukan narasi bukan omongan

Apalagi hidup di Jakarta, kejamnya bukan main. Gak banyak gaya saja repot. Apalagi banyak gaya. Bisa ambruk, bisa nelongso hidupnya. Tiap hari merasa kurang, penuh keluh-kesah.

Punya gaji gede bilangnya tetep gak cukup. Buat kartu kredit, buat cicilan, buat nongkrong sana nongkrong sini. Giliran punya gaji gak seberapa, pengen ini pengen itu. Akhirnya ngeluh terus, lupa bersyukur. Semuanya dipandang gak cukup, boro-boro bisa sedekah. Kebanyakan gaya. WAJAR, MAKIN BANYAK GAYA MAKIN BANYAK TEKANAN.

Beda banget sama si Mark Zuckerberg yang punya Facebook. Dia itu, kaya banget. Tapi sederhana aja, bajunya cuma kaos doang. Mobil dan gaya hidupnya juga biasa aja. Si pemilik FB ini, gak banyak gaya. Sehari-harinya, gak ada yang mencolok. Mau merek-nya atawa model-nya... kerenn.

EMANG ORANG YANG "BENERAN" SAMA YANG "KW", PASTI BEDA. BANYAK ORANG LUPA, TAMPILAN LUAR ITU GAK BISA JADI UKURAN ASLINYA, GAK BISA JADI UKURAN KELAS SOSIAL.

Banyak Gaya Banyak Tekanan.
Gimana gak jadi korban gaya hidup. Gede gengsi gede gaya, biar kelihatan keren kelihatan berkelas. Gak mau kalah sama orang lain, gak boleh kalah sama "tetangga". Semua itu namanya "banyak gaya". Maka wajar, makin banyak tekanan ...

Entah mau sampai kapan, si penggila gaya hidup itu berfantasi. Mau berapa banyak lagi "korban" gaya hidup yang akhirnya menyengsarakan diri sendiri atau orang lain?

Jadi, gak usah kebanyakan gaya kalo gak mau banyak tekanan. Karena yang mahal itu bukan "biaya hidup". Tapi yang mahal itu "gaya hidup kamu". Gaya konsumtif, gaya berhutang, dan gaya hedonisme. Semuanya pengen bergaya ...

Hidup itu sederhana kok. Cuma orang "bergaya" yang bikin rumit. Kalau cukup uang, silakan beli. Kalau gak cukup gak usah maksa pengen beli. Karena bersahaja itu lebih keren daripada bergaya. Karena sederhana itu lebih hebat dari berpura-pura ...

Maka, jangan banyak gaya kalo gak mau banyak tekanan ... salam ciamikk #TGS #GayaHidup

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun