"Berapa lama lagi perjalanan kita di kereta ini, Abi?" tanya si perempuan kecil di gerbong restorasi.
Sedikit terhentak. Karena aku belum sedikitpun menyeruput kopi hitam yang baru dihidangkan. "Mungkin, sekitar 7 jam lagi Nak" jawabku padanya.
Maklum si perempuan kecil. Ia anak bontotku yang bersahaja lagi sederhana. Tidak seperti anak remaja putri pada umumnya. Sekalipun baru kelas VII SMP, ia tahu apa yang harus ia lakukan. Tapi bila sudah bicara, hampir pasti aku tak lagi mampu membantahnya.
Memang di zaman now. Tidak mudah mendidik anak perempuan yang beranjak remaja. Karena tiap gerakan langkah, selalu ada ancaman di belakangnya. Anak-anak perempuan yang terkurung dalam belenggu zaman. Berdesah dalam dekapan gaya hidup. Bahkan nafsu selebritas. Hingga terkesan beringasan. Maka sama sekali salah, bila ada yang mengganggap; mendidik anak perempuan itu mudah. Apalagi lemah...
Di atas gerbong kereta. Si perempuan kecil mulai meng-investigasiku secara perlahan. Lembut tapi tiap kata yang keluar dari mulutnya, selalu meluluhkanku. "Aku sekarang kan sudah SMP. Abi mau aku, bagaimana?" tanya si perempuan kecil padaku.
Bergemuruh dadaku. Di gerbong kereta restorasi yang kerap bergoyang. Sama sekali, aku tak menyangka. Ada pertanyaan sederhana tapi begitu menyulitkan jawabnya. "Serius amat pertanyaannya Nak. Abi tidak punya banyak mau tentang kamu. Abi hanya ingin selalu ada di dekat kamu. Itu udah cukup" jawabku datar.
"Ohh, ya udah. Kalo cuma itu" sambutnya.
Si perempuan kecil pun mereaksi lagi. Ia bertutur. Bahwa sebenarnya, pertanyaan yang sama pernah dilayangkan kepada kedua kakak laki-lakinya. Tapi dibenaknya, semua jawaban tidak memuaskan.
Justru ada pesan yang hendak disampaikan si perempuan kecil. Tidak tersurat tapi tersirat. Seolah ia hanya ingin berkata "sekalipun dirinya anak bontot. Tapi jangan pernah memandang rendah dirinya. Apalagi sebagai anak perempuan, ia tidak ingin dianggap manja. Ia hanya ingin apa adanya. Dan setiap kakak harus melindungi adiknya", begitu kira-kira pesannya.
Aku pun sedikit menunduk. Tanda bersyukur. Karena si perempuan kecil, bukan hanya tumbuh lebih dewasa. Tapi cara pikirnya sangat realistis.
Karena di luar sana, betapa banyak orang makin tidak realistis. Gagal tampil menjadi apa adanya. Hingga jati diri terlindas dinamika zaman. Terbelenggu nafsu peradaban. Tanpa punya sikap, tanpa punya prinsip lagi dalam hidupnya. Hidup, hanya ter-obsesi pada penampilan belaka. Tampak muka, tiada isi. Lahi-lagi, karakter kuat verbalut kelembutan hati seorang perempuan selalu jadi ciri si perempuan kecil. Tetap bersahaja. Agar tidak terlalu cinta pada dunia. Si perempuan kecil, lagi-lagi membuatku terkesima. Sederhana pikirannya tapi berkelas.
Bersama di perempuan kecil. Aku selalu tentram. Bahkan terkadang memori saat menimangnya di usia balita menyusup, hingga memanggil kembali memori yang pernah ada. Sementara di negeri lain, berapa banyak anak perempuan yang "dibiarkan" tergerus ombak kehidupan. Kian hari kian terperi. Akibat lalai menyadari, arti penting si perempuan kecil dulu...