Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kisah Dosen Unindra Terjun Berantas Buta Aksara

2 Agustus 2019   10:04 Diperbarui: 2 Agustus 2019   10:10 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kumandang azan magrib menggema seantero Desa Sukaluyu, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Azan magrib menjadi pengingat berhentinya segala aktivitas warga di desa yang terletak di kaki Gunung Salak itu. Selepas magrib, seorang ibu, sebuat saja Arniati, 49 tahun, warga Kp. Warung Loa Desa Sukaluyu, sering dilanda bingung bukan kepalang. 

Pasalnya, putri semata wayangnya, Azzahra yang duduk di kelas 4 Sekolah Dasar (SD) harus mengerjakan pekerjaan rumah dari sekolah. Akibat buta aksara, Arniati pun gelisah. Apa yang bisa dilakukan untuk si buah hati. 

Walau hanya membantu pekerjaaan rumah dari sekolah. Sementara ia tidak bisa baca, apalagi menulis atau berhitung untuk urusan sekolah anak.

Sungguh, tidak mudah bagi Arniati, yang di usia jelang setangah abadnya itu masih buta aksara. Tak mau si buah hati kecewa, Arniati rela keliling kampung, di tengah jalan yang minim penerangan. Untuk berpindah dari satu tetangga ke tetangga lainnya, hanya untuk meminta tolong menyelesaikan tugas sekolah anaknya.

Kisah Arniati adalah potret seorang ibu yang di zaman serba digital sekarang, masih mengalami buta aksara. Tidak bisa baca tidak bisa tulis. Sebuah realitas masyarakat yang jarang dilirik banyak orang. 

Bisa jadi, Arniati tidak hanya sendiri di kampung itu, atau mungkin masih banyak Arniati lainnya di kampung-kampung di pelosok negeri Indonesia. Sebuah keadaan ibu atau orang tua yang buta aksara.

Berawal dari keprihatinan kisah Arniati inilah, Syarifudin Yunus, dosen Universitas Indraprasta PGRI tergugah dan merasa patut terjun langsung dalam memberantas buta huruf atau buta aksara. 

Kepeduliannya akan kaum buta aksara, menjadikan Syarif, begitu panggilan Pendiri Taman Bacaan Lentera Pustaka di Kaki Gunung Salak Bogor ini yang kemudian memilih mencurahkan tenaga dan waktunya untuk mengatasai masalah buta huruf di Kampung Warung Loa Desa Sukaluyu Kec. Tamansari Kab. Bogor.

Syarifudin Yunus, pegiat literasi yang  juag senior konsultan di DSS Consulting harus memutar otak dan bersiasat, untuk menghimpun ibu-ibu penyandang buta aksara agar mau belajar membaca dan berhitung sederhana. 

Tak jarang semangat belajar ibu-ibu di Desa Sukaluyu harus "ditukar" dengan seliter beras, semangkuk bakso, bahkan segelas es cincau. Hanya untuk motivasi, hanya untuk menyemangati. Maklum, orang tua memang sulit untuk diajak belajar.

"Ikut peduli mengatasi buta huruf di kalangan orang tua menjadi panggilan hati saya. . Ibu Arniati, mungkin hanya sekelumit kisah miris di daerah yang hanya berjarak puluhan kilometer dari ibu kota Jakarta. 

Bahkan hampir tidak diperhatikan banyak orang. Makanya saya terjun langsung untuk mengajar mereka" kata Syarifudin Yunus, ayah 3 anak yang tiap minggu mengajar kaum buta huruf.

Setelah sebelumnya lebih dulu mendirikan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka untuk anak-anak, Syarif sadar masih ada yang perlu disentuh permasalahan buta aksara kalangan orang tua, kaum buta huruf yang tersisa di era serba digital ini. 

Maka dri itu, didirikanlah Gerakan Berantas Buta Aksara (Geber Bura), sebuah gerakan sosial untuk memberantas kaum buta aksara. Agar bisa membaca bisa menulis. Sehingga dapat membantu anak-anaknya yang sekolah.

Dari Arniati pula, Syarif belajar dan menganalisis pola interaksi orang tua dalam mendidik anaknya. Perkembangan pendidikan anak berpotensi terhambat, hanya karena keterbatasan orang tua yang buta huruf. Syarif bertekad, kisah Arniati yang terus meminta tolong tetangga untuk membantu tugas sekolah putrinya tidak bisa terus berulang.

Memberantas buta huruf atau buta kasara, memang tidak mudah di zaman now. Selain fator usia dan kesadaran, faktor gengsi pun masih menyelimuti kaum buta huruf. Apalagi di tengah himpitan ekonomi, makin kuat alasan mereka enggan mengakui dan malu belajar mengenal huruf.

Akhirnya, hanya komitmen dan kesabaran, Geber Bura (GErakan BERantas BUta\ aksaRA) di Kaki Gunung Salak Bogor bisa berjalan. Ada 6 ibu-ibu buta huruf yang kini rutin belajar baca dan tulis. Walau masih banyak ibu attau bapak yang belum mau bergabung. Syarifudin mengaku, mengumpulkan dan mengajak mereka untuk belajar baca dan tulis memang perlu pendekatan khusus.

"Jangankan mengenal huruf, mengetahui tanggal dan tahun kelahiran mereka pun terkadang sulit. Maka kita patut bantu kaum buta huruf. Karena saya khawatir, gara-gara orang tua buta huruf akhirnya anak dengan mudah merendahkan orang tua. Atau menjadi durhaka pada orang tua. Lalu, saling menyalahkan..." tambah Syarifudin Yunus, yang kini tengah menempuh S3 - Program Doktor Manajemen Pendidikan di Pascasarjana Unpak Bogor.

Pengalaman dan latar belakang Syarif sebagai dosen lebih dari 25 tahun dan praktisi pendidikan, sungguh tidak lantas membuat mudah dalam mengajarkan baca tulis kepada ibu-ibu yang sama sekali belum pernah mengenal abjad dan tulisan ini. Terlebih, ketersediaan waktu kaum buta huruf yang mesti mengurus urusan rumah tangga dan kegiatan ekonominya sehari-hari.

dokpri
dokpri

Maka Syarif, peraih UNJ Award di 2017 ini kemudian memutar otak, menyiasati, setidaknya membangun kesadaran mereka agar tertarik dengan Geber Bura. Karena ada stigma di masyarakat sekitar, belajar baca tulis sia-sia dan tidak berguna dengan usia yang tidak lagi muda. 

Ibu-ibu kaum buta huruf, menganggap kegiatan yang menghasilkan nilai ekonomi lebih menarik dan jadi prioritas, ketimbang mengisi kegiatan yang tak bisa secara langsung menopang ekonomi sehari-sehari. Itulah bukti bahwa kesadaran dan kepedulian pendidikan masyarakat masih sangat rendah.

Agar tidak menganggu kegiatan ekonomi, belajar baca tulis di Geber Bura diadakan dua kali setiap pekan. Dimulai pukul 13.00 hingga 15.00 WIB setiap kali pertemuan. Waktu ini dipilih, dengan pertimbangan kegiatan rumah tangga telah rampung. Bahkan sebagai motivasi dan penyemangat, tidak jarang setiap pertemuan belajar baca tulis, Syarif memberi "hadiah" berupa seliter beras, atau jajan bakso bersama. 

Setelah meng-eja, menulis selembar, atau mengerjakan "PR" buta aksara. Setidaknya hal itu bisa menggugah kesadaran para ibu datang belajar. Meski pada awalnya, orientasi sembako tentu saja dianggap lebih penting ketimbang proses belajar huruf dan angkanya.

"Saya menggunakan metode istilahnya belajar dengan senang. Maklum karena ini ibu-ibu, pasti sulit waktunya. Apalagi ini gerakan sosial, bukan sekolahan. Maka saat datang belajar, ada saja yang saya hadiahi. Bisa seliter beras untuk dibawa pulang. Terus siapa yang duluan selesai satu lembar menulis, nanti dibelikan bakso bareng-bareng atau es cincau," cerita Syarif pria kelahiran Jakarta 49 tahun lalu.

Sungguh, di benak Syarif, persoalan buta huruf atau buta kasara bukanlah soal pemerintah. Tapi menjadi tanggung jawab semua pihak. Baik aparatur, masyarakat, pendidik, bahkan pemerhati sosial. Harus ada kepedulian untuk "menghidupkan" harkat dan martabat kaum buta huruf, khususnya di mata anak-anaknya. Jangan sampai himpitan ekonomi makin menjadikan kaum buta huruf kian terpuruk, kian tidak berdaya.

Alhasil, kini ibu-ibu yang tergabung di Geber Bura Lentera Pustaka di Kampung Warung Loa Kaki Gunung Salak pun secara perlahan sudah bisa membaca, mengeja kata demi kata, bahkan menulis. Minimal menulis nama dan tanda tangannya sendiri sesuai. 

Sekalipun sulit mengatur waktu kaum buta huruf, gerakan berantas buta huruf harus terus dilakukan. Agar semua orang, siapapun, harus terbebas dari belenggu buta aksara.

Dokpri
Dokpri
Senada dengan itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy kepada Medcom.id (https://www.medcom.id/pendidikan/news-pendidikan/aNrQaYzK-menukar-seliter-beras-dengan-semangat-belajar-aksara) mengakui, angka buta aksara baik secara persentase maupun absolut sangat kecil. Tetapi bukan berarti mudah diberantas.

"Justru sangat sulit, karena tersebar dalam satuan kecil yang secara spasial maupun kultural sulit dijangkau," papar Muhadjir.

Sehingga untuk membereskannya, perlu energi berlipat dibandingkan dengan buta aksara biasa. Dari data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) angka buta huruf di Indonesia tersisa 2,7 persen atau sekitar 3,4 juta orang dari total penduduk di Indonesia.

Direktur Keaksaraan dan Kesetaraan, Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat Kemendikbud, Abdul Kahar mengatakan, angka buta huruf didominasi usia "kepala empat" ke atas.

Artinya, kata Kahar, pengentasan buta huruf di usia sekolah sudah tuntas. Pemerintah tidak lepas tangan pengentasan buta huruf, sebab hak semua warga negara di semua lapisan dan usia untuk mendapat layanan pendidikan.

Kahar menegaskan, tidak boleh ada anggapan pengantasan buta huruf tidak efektif di usia yang rata-rata tidak produktif. "Tidak boleh mengabaikan bahwa mereka itu sudah tidak produktif lagi. Tapi masih tetap menjadi tanggung jawab negara, karena mereka punya HAM (Hak Asasi Manusia) terhadap pendidikan," ujar Kahar.

Penanganan buta aksara untuk usia lanjut diakui Kahar bukan perkara yang mudah. Ada dua pendekatan pengentasan buta aksara untuk kalangan usia yang tidak lagi produktif ini.

Pertama dengan multi keaksaraan dan keaksaraan mandiri. Pada prinsipnya kedua kegiatan di atas sama-sama fokus pada pengentasan buta huruf yang permanen.

Khusus untuk keaksaraan mandiri, kegiatan pengentasan buta huruf dipadukan dengan kegiatan hasta karya mandiri. Hal ini bertujuan agar peserta buta aksara yang memasuki usia lanjut tidak jenuh dengan materi-materi pembelajaran.

"Keterampilan tapi bermuatan pembelajaran sehingga mereka tidak melulu mengetahui keterampilannya," jelas Kahar.

Tahun ini, ada enam provinsi yang menjadi fokus pengentasan buta aksara di Indonesia. Meliputi Papua, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Barat.

Keenam provinsi itu masuk zona merah, angka buta huruf dari total penduduknya berada di atas 4 persen atau lebih tinggi dari rata-rata nasional. Kontur geografi wilayahnya masuk kategori daerah Tertinggal, Terluar dan Terdepan (3T).

Pemerintah tak mematok target muluk-muluk. Tahun ini setidaknya angka buta aksara turun 0,5 persen dari 2,7 persen total penduduk yang buta huruf.

Kahar sadar, selain keterbatasan anggaran, faktor wilayah yang masih terdapat penduduk buta huruf tidak mudah dijangkau. Hal ini yang menyulitkan petugas dan pegiat sosial di lapangan mengatasi masalah tersebut.... Salam Geberbura #TBMLenteraPustaka #Geberbura #BudayaLiterasi

dokpri
dokpri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun