Bahkan hampir tidak diperhatikan banyak orang. Makanya saya terjun langsung untuk mengajar mereka" kata Syarifudin Yunus, ayah 3 anak yang tiap minggu mengajar kaum buta huruf.
Setelah sebelumnya lebih dulu mendirikan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka untuk anak-anak, Syarif sadar masih ada yang perlu disentuh permasalahan buta aksara kalangan orang tua, kaum buta huruf yang tersisa di era serba digital ini.Â
Maka dri itu, didirikanlah Gerakan Berantas Buta Aksara (Geber Bura), sebuah gerakan sosial untuk memberantas kaum buta aksara. Agar bisa membaca bisa menulis. Sehingga dapat membantu anak-anaknya yang sekolah.
Dari Arniati pula, Syarif belajar dan menganalisis pola interaksi orang tua dalam mendidik anaknya. Perkembangan pendidikan anak berpotensi terhambat, hanya karena keterbatasan orang tua yang buta huruf. Syarif bertekad, kisah Arniati yang terus meminta tolong tetangga untuk membantu tugas sekolah putrinya tidak bisa terus berulang.
Memberantas buta huruf atau buta kasara, memang tidak mudah di zaman now. Selain fator usia dan kesadaran, faktor gengsi pun masih menyelimuti kaum buta huruf. Apalagi di tengah himpitan ekonomi, makin kuat alasan mereka enggan mengakui dan malu belajar mengenal huruf.
Akhirnya, hanya komitmen dan kesabaran, Geber Bura (GErakan BERantas BUta\ aksaRA) di Kaki Gunung Salak Bogor bisa berjalan. Ada 6 ibu-ibu buta huruf yang kini rutin belajar baca dan tulis. Walau masih banyak ibu attau bapak yang belum mau bergabung. Syarifudin mengaku, mengumpulkan dan mengajak mereka untuk belajar baca dan tulis memang perlu pendekatan khusus.
"Jangankan mengenal huruf, mengetahui tanggal dan tahun kelahiran mereka pun terkadang sulit. Maka kita patut bantu kaum buta huruf. Karena saya khawatir, gara-gara orang tua buta huruf akhirnya anak dengan mudah merendahkan orang tua. Atau menjadi durhaka pada orang tua. Lalu, saling menyalahkan..." tambah Syarifudin Yunus, yang kini tengah menempuh S3 - Program Doktor Manajemen Pendidikan di Pascasarjana Unpak Bogor.
Pengalaman dan latar belakang Syarif sebagai dosen lebih dari 25 tahun dan praktisi pendidikan, sungguh tidak lantas membuat mudah dalam mengajarkan baca tulis kepada ibu-ibu yang sama sekali belum pernah mengenal abjad dan tulisan ini. Terlebih, ketersediaan waktu kaum buta huruf yang mesti mengurus urusan rumah tangga dan kegiatan ekonominya sehari-hari.
Maka Syarif, peraih UNJ Award di 2017 ini kemudian memutar otak, menyiasati, setidaknya membangun kesadaran mereka agar tertarik dengan Geber Bura. Karena ada stigma di masyarakat sekitar, belajar baca tulis sia-sia dan tidak berguna dengan usia yang tidak lagi muda.Â
Ibu-ibu kaum buta huruf, menganggap kegiatan yang menghasilkan nilai ekonomi lebih menarik dan jadi prioritas, ketimbang mengisi kegiatan yang tak bisa secara langsung menopang ekonomi sehari-sehari. Itulah bukti bahwa kesadaran dan kepedulian pendidikan masyarakat masih sangat rendah.
Agar tidak menganggu kegiatan ekonomi, belajar baca tulis di Geber Bura diadakan dua kali setiap pekan. Dimulai pukul 13.00 hingga 15.00 WIB setiap kali pertemuan. Waktu ini dipilih, dengan pertimbangan kegiatan rumah tangga telah rampung. Bahkan sebagai motivasi dan penyemangat, tidak jarang setiap pertemuan belajar baca tulis, Syarif memberi "hadiah" berupa seliter beras, atau jajan bakso bersama.Â