Bila sadar, bahasa adalah alat yang efektif untuk mempengaruhi massa. Maka bahasa tidak boleh dipisahkan dari kesantunan dalam tuturannya. Karena bahasa bukan hanya alat politik. Tapi bahasa pun harus punya etika.
Bayangkan, selama pilpres dan pileg 2019 tercatat ada 62 konten hoaks atau berita bohong. Depkominfo pun menerima sekitar 733 aduan konten hoaks yang disebar melalui WhatsApp.Â
Bahkan selama tahun 2018, tercatat 122 orang ditangkap karena menyebarkan kebencian di tengah masyarakat. Maraknya ujaran kebencian dan berita bohong harus dilihat sebagai ancaman terhadap eksistensi Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
 Kesadaran berbahasa yang santun dan sesuai etika patut dikedepankan. Karena bahasa yang tidak santun pasti mengancam karakter bangsa Indonesia, di samping dapat memecah belah persatuan. Bahasa tidak lagi bisa didasari hanya pragmatisme politi. Tapi berbahasa pun tidak boleh abai terhadap kesantunan.
Di era revolusi industri, bahasa bukan lagi sekadar alat komunikasi. Tapi bahasa harus mampu mempertegas jati diri dan karakter bangsa. Indonesia yang santun dan berbudaya justru tercermin melalui bahasa yang digunakan.Â
Semakin beni bahasanya maka semkain tidak santun. Karena itu, penting untuk mempersoalkan kesantunan berbahasa hari ini, di samping memilih sikap positif dalam berbahasa.
Politik tidak santun pun tercemin pada bahasa yang tidak santun. Maka wajar bahasa politik terlalu dipenuhi kebencian, kebohongan, hujatan bahkan fitnah. Tutur kata bahasa politik yang dipertontonkan kian ambigu.Â
Sikap kesantunan berbahasa Indonesia kian punah bahkan terlalu mudah diputar-balik menjadi alat untuk menistakan. Bahasa politik tidak asyik lagi.Â
Cara politisi berbahasa kian penuh sentimen, hingga bikin gaduh dan mengundang perdebatan. Bahasa politik terlalu mengumbar kata-kata tanpa arti. Diksinya provokatif, bahkan kamuflastis dan terkadang menyesatkan.
Hari ini, bahasa politik tidak lagi berdasar pada argumentasi logis dan realistis. Bahasa seakan telah kehilangan kosakata santun lalu berganti caci-maki, sumpah serapah dan hujat-menghujat.Â