Sang politikus pun berdiri sambal menghisap sebatang rokok.
Raut wajahnya tampak galau. Pikirannya tercabik-cabik seolah sulit menerima realitas politik. Pikiran jeleknya lebih dominan daripada baiknya. Konsekuensi berat ke depan, harus dihadapinya.
"Sudahlah bos, kita rileks sejenak. Buatlah hati dan pikiran kita lebih plong. Toh, bila kita tidak bisa jadi matahari. Cukuplah jadi lentera yang bisa menerangi orang-orang di sekitar. Dan untuk itu, kita tidak harus jadi politis. Jadi orang biasa pun bisa" nasehatku kepada sang politikus.
"Iya, elo ngomong gampang. Tapi gue sulit bisa menerima bila kalah. Karena semuanya sudah gue kerahkan. Habis-habisan" kata Sang Politisi agak emosi.
"Loh, justru ini ujian dan konsekuensi atas pilihan elo sendiri. Kalau kita siap berkompetisi, kita pun harus berkonsekuensi. Kita harus berjiwa besar dalam menerima realitas politik.
Memang sulit untuk mengakui kelemahan diri sendiri. Apalagi mengakui keunggulan orang lain" tambahku lagi.
Matahari pun kian meninggi. Senja sebentar lagi tiba.
Ada pelajaran berharga dari pilpres kali ini. Bercermin dari sang politikus. Politik dan pilpres memang ganas. Ia menjadi  sebab hancurnya sebuah cinta. Karena terbalut dalam belenggu harapan yang berlebihan. Pantas, politik selalu menyeret banyak orang. Memilih larut dalam kebodohan dan keegoisan diri.
Dari wajah sang politikus. Hampir saja "kapal" yang terus berlayar itu kandas; tidak bisa beranjak karena terombang-ambing siasat politik atas nama cinta ...
Aku pun berdoa untuk sang politikus. Agar lebih plong menerima segalanya.
Karena aku yakin. Hidup berdampingan bersamanya dan tetap berjiwa besar adalah kemenangan terbaik yang pantas kita rayakan bersama ... #TGS