Ternyata 60% fasilitas ruang baca yang ada di taman bacaan di Indonesia tidak memadai. Begitu simpulan sementara Survei Tata Kelola Taman Bacaan di Indonesia yang dilakukan TBM Lentera Pustaka (hingga 14 Juni 2019). Sementara ruang baca yag sudah memadai 20% dan 20% lagi menjawab mungkin memadai. Fasilitas ruang baca menyangkut rak buku, boks tempat buku, alas/karpet baca, maupun bangunan fisik taman bacaan. Kondisi ini tentu menjadi tantangan bagi pegiat literasi dalam upaya membangun budaya literasi. Karena fasilitas ruang baca pada dasarnya dapat memberikan kenyamanan dan kemudahan anak-anak pada saat jam baca.
Tidak memadai fasilitas ruang baca di taman bacaan harusnya menjadi cambuk pemerintah daerah maupun korporasi untuk ikut peduli dalam memperbaiki fasilitas ruang baca di taman bacaan. Sehingga kegiatan membaca dan budaya literasi dapat berlangsung optimal. Hal ini sekaligus menjadi bukti bahwa taman bacaan yang sebagian besar dikelola secara swadaya oleh pegiat literasi perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak, utamanya pemerintah daerah.
Karena pada hakikatnya, taman bacaan merupakan ruang publik untuk membangung tradisi baca dan budaya literasi bagi masyarakat setempat. Bahkan lebih dari itu, taman bacaan pun dapat menjadi salah satu pusat sumber informasi dan bagian dari upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia. Maka sangat wajar bila fasilitas ruang baca tidak memadai, akan sulit bagi taman bacaan untuk ambil bagian dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sarana dan prasarana taman bacaan yang tidak memadai inilah yang menjadi "pekerjaan rumah" para pegiat literasi dan masyarakat dalam mengemban misi membudayakan kegiatan membaca dan literasi anak-anak.
Sebagai informasi, jawaban survei Tata Kelola Taman Bacaan di Indonesia ini diperoleh dari pegiat literasi yang ada di 33 lokasi di Indonesia, seperti dari Bogor -- Sukoharjo- Banyuwangi- Sumba Tengah -- Jambi -- Purwokerto - Nias Selatan - Buru Selatan - Sorong Selatan - Kab. Gowa -- Asahan - Padang Panjang -- Rappang -- Cirebon - Seram - Mamuju Tengah - Tapanuli Utara -- Matawae - Landak - Manggarai Barat -- Grobogan -- Wonogiri - Buton Tengah - Kota Baru -- Boyolali - Aceh Barat - Probolinggo -- Purworejo -- Malang - Semarang - Lampung Timur -- Tanggamus -- Jeneponto -- Sumba Barat.
Harus diakui, saat ini menjadikan anak-anak "dekat" dengan budaya membaca memang tidaklah mudah. Untuk itu, dibutuhkan komitmen dan aksi nyata dalam mengajak anak-anak untuk mau bergelut dengan buku bacaan. Maka tentum dukungan sarana dan prasarana pun harus dioptimalkan. Demi tegaknya budaya literasi di kalangan anak-anak usia sekolah.
"Budaya literasi di anak-anak kita hampir hilang. Untuk itu, semua pihak baik korporasi dan individu harus peduli terhadap tradisi baca dan budaya literasi anak-anak. Maka keterbatasan fasilitas ruang baca di taman bacaan harus didukung oleh semua pihak, utamanya pemerintah daerah dan korporasi" ujara Syarifudin Yunus, Pendiri dan Kepala Program TBM Lentera Pustaka.
Maka sebagai solusi, gerakan CSR Korporasi sebagai aksi nyata dalam mewujudkan tanggung jawab sosial harus terus didengungkan. Agar pihak korporasi mau menyisihkan dana CSR untuk aktivitas membaca dan budaya literasi anak-anak Indonesia. Karena survei ini mempertegas bahwa budaya literasi di Indonesia bukan hanya masalah ketersediaan buku. Tapi fasilitas ruang baca pun ikut menentukan minat dan daya Tarik anak-anak untuk membaca.
Merujuk pada survei UNESCO (2012), indeks tingkat membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, hanya ada satu orang dari 1000 penduduk yang masih 'mau' membaca buku secara serius. Maka, sangat wajar Indonesia ditempatkan pada posisi 124 dari 187 negara dalam penilaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Maka sebagai konsekuensi atas kondisi taman bacaan ini, solusi yang paling memungkinkan adalah taman bacaan dapat mengkombinasikan jadwal jam baca yang bersifat "out door" di alam terbuka. Di samping pegiat literasi harus tetap berjuang mencari "jalan keluar" atas problema keterbatasan fasilitas ruang baca yang ada di taman bacaannya.