May Day, 1 Mei itu katanya Hari Buruh. Tapi kenapa yang ikut libur bukan hanya "buruh".
Semua libur kok; pekerja, pegawai, karyawan juga pada libur. Jadi saya ini, buruh atau pekerja atau pegawai atau karyawan?
Terus, kalo saya ini "pekerja sosial", kenapa saya gak boleh disebut "buruh sosial"? Kalo ada si mbak yang "pekerja seks komersial - PSK", kenapa kita gak boleh panggil sebagai "buruh seks komersial -- BSK". Tapi giliran "buruh tani" boleh, tapi gak boleh disebut "pegawai tani". Kalo "karyawan bank" mau gak dipanggil "buruh bank"? Katanya "pegawai negeri" tapi kerjanya buat negara, ya harusnya "pegawai negara" dong. Ahhh, jadi pusing nih buruh.
Kenapa beda? Bila ukurannya; jam kerja, upah atau gaji, cuti, pesangon atau lainnya. Kan semuanya sama. Apa karena soal status sosial? Atau karena soal materialisme? Atau soal kapital, soal uang? Bisa jadi. Karena dalam filsafat bahasa, tidak ada diksi atau istilah bebas nilai. Semuanya ada maunya, ada kepentingannya. Mau disebut buruh, pegawai, pekerja atau karyawan atau apapun. Tujuannya sederhana, untuk menciptakan dikotomi semata; agar tidak ada konsolidasi di antara mereka.
Buruh itu makin pusing.
Karena puluhan tahun kerja, tetap saja masih khawatir akan masa pensiunnya. Apalagi kalo tiba-tiba diberhentikan, buruh pasti pusing banget. Mau hidup sehari-hari pakai apa. Mungkin, rasa khawatir, rasa takut buruh jauh melebihi anak sekolah yang mau lanjut ke sekolah idaman. Rasa cemasnya gak kalah dibandingkan menunggu "hasil piplres" kali ya... Buruh lagi-lagi pusing.
Hari ini, banyak buruh yang pengen jadi pengusaha. Banyak pekerja pengen jadi majikan. Tapi di saat yang sama, banyak pengusaha pusing ngurusin buruhnya. Banyak pemberi kerja pusing karena pegawainya banyak. Tapi produktivitasnya rendah. Nah kalo udah gini, buruh pusing pengusaha pusing. Sama-sama pusing.
Pertanyaan sederhana, jadi di "Hari Buruh" kita sedang menghormati apa? Atau mau lakukan apa? Jawabnya relatif. Hanya masing-masing buruh yang tahu jawabnya.
Maka penting hari ini, semuanya refleksi diri.
Siapaun; baik buruh, pekerja, pegawai atau karyawan patut berpikir ulang. Untuk menggeser orientasi. Bahwa pekerjaan atau profesi apapun tidak semata-mata diukur dari material, bukan hanya upah. Tapi bekerja adalah aktualisasi diri; lebih kepada moralitas kepada spiritualitas. Karena bekerja adalah anugerah sekaligus amanah yang patut disyukuri. Selebihnya, biar Allah SWT yang "bekerja" untuk si buruh.
Buruh itu pusing. Karena hidupnya diukur dari untung-rugi. Karena hidupnya lebih banyak mengeluh daripada bersyukur. Karena gaya hidupnya melebihi biaya hidupnya. Maka selagi masih jadi buruh, cukup terima apa adanya sambal terus bersyukur. Sementara yang jadi majikan atau bos, ya tidak boleh sewenang-wenang. Dengan begitu, buruh atau pengusaha bisa bersinergi, bisa "bertemu di jalan yang sama".
Karena pekerjaan apapun, harus dihargai berdasar nilai sosialnya, bukan nilai materialnya. Bekerja itu untuk kemaslahatan umat; bukan untuk pangkat. Agar lebih berkah lebih indah.
Dan satu lagi. Siapapun sebutannya. Buruh, pekerja, pegawai atau karyawan gak usah ngurusin negara. Karena bisa terpecah-belah. Kata buruh, negara harus gini. Kata pekerja, negara harus gitu. Kata pegawai, negara harusnya gini. Kata karyawan, negara harusnya gitu. Jadi deh empat negara. Lha, menyamakan istilah saja gak bisa, apalagi bikin negara.
Jadi, buruh itu hanya status hanya simbol. Tapi keadaannya seperti apa, hanya si buruh yang tahu ... Selamat Hari Buruh #TGS #HariBuruh #MayDay
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H