Sengatan sinar matahari siang itu. Kian menambah rasa mencekamku. Tentang apa artinya cinta. Â Sudah sejak 4 tahun lalu. Aku mengenal Rangga sebagai pria yang penuh simpatik. Selalu menjemputku di kampus. Bahkan tidak jarang mengajakku ke tempat kerjanya di kantor yang mentereng. Bagiku, itulah cara Rangga mengenalkan aku dengan dunianya, dengan kehidupannya. Agar semakin akrab, semakin dekat dengan kehidupannya. Rangga di mataku, sungguh sosok cowok ideal.
"Rangga, kamu tahu gak tentang perasaanku?" tanyaku.
"Kenapa memangnya..." tanya Rangga balik.
"Aku hanya bilang. Sudah 4 tahun ini, aku merasakan cinta kita itu semakin indah. Seperti layaknya taman bunga yang sedang bermekaran" kataku.
"Woww, terima kasih, sayang. Begtulah cinta bila saling menyenangkan" ucap Rangga sambil memeluk dan mengecup keningku.
Tapi sudah dua bulan ini. Semua berubah. Drastis. Rangga tidak lagi seperti dulu. Sejak musim pilpres, ia tumbuh menjadi cowok yang idealis lagi keras. Pandangan politik telah mengubah komitmen cintanya. Apalagi idola kandidat presidennya berbeda dengan aku.
Seperti hari ini, katika aku pulang terlambat dari kuliah. Tiba-tiba Rangga sudah ada di rumahku. Seperti suhu politik, ia marah sambal menginterogasi. Kenapa aku pulang terlambat? Matanya terbelalak. Penuh sentimen dan emosi. Sangat emosional, sambal mempersoalkan keterlambatan aku.
"Kenapa, kamu pulang terlambat! Dari mana?" tanya Rangga keras.
"Aku tidak kemana-mana. Ada tugas kuliah yang harus kuselesaikan. Lalu, apa yang salah?" tanyaku sedikit emosi.
"Halahhh, omong kosong. Kamu itu sudah tidak menuruti perintahku. Kamu lebih senang berbeda pendapat dengan aku" jawab Rangga lagi.
"Kita itu pacaran atas kesadaran, Mas. Tidak ada yang saling menuruti atau memerintah. Mungkin kamu yang harus mawas diri. Ada yang berubah di diri kamu gara-gara pilpres" jawabku.
Aneh, pikirku. Kenapa hanya gara-gara pilpres. Banyak orang bisa berubah sikap, berubah perilaku. Energinya tersedot hanya urusan emosional. Apalagi terhadap orang-orang yang beda pilihan. Merasa si A lebih baik, lalu membenci orang yang beda pilihan. Merasa si B lebih pantas, lalu saling menghujat seenaknya.
Bagiku, bisa jadi, Rangga begitu emosional. Karena hingar-bingar politik dan pilpres tidak sesuai dengan jalan pikirannya. Pilpres tidak lagi dianggap sebagai ajang demokrasi lima tahunan. Mitos pilpres telah bergeser. Pilpres dianggap dianggap dapat menentukan untung rugi-nya hidup si pemilih.
Seperti yang dialami Rangga. Aku semakin bingung. Pilpres malah menjadikan jalan pikirannya tidak rasional. Dia sangat takut. Bila kandidat yang bukan pilihannya terpilih. Maka wajar, dia berjuang untuk memaksa mitos pikirannya menjadi keharusan realitas. Rangga, telah mengeramatkan dan mengagungkan secara berlebih-lebihan tentang arti demokrasi.
"Mas Rangga, entah kenapa? Hanya karena pilpres, kamu berubah" tanyaku.
"Tentu, karena aku ingin. Orang dekatku sepikiran dengan pilihanku. Termasuk kamu" ujar Rangga.
"Tapi, bukankah memilih pemimpin itu urusan personal. Bila kita tidak bisa sama, kenapa tidak boleh beda?" tanyaku lagi.
"Ahhh, sudahlah. Kamu tahu apa tentang politik, tentang pilpres. Gak terlalu banyak bicara" tegas Rangga.
Melihat perubahan sikap dan perilaku Rangga, aku merasa aneh. Sebegitu jauhkah politik merasuk dalam pikiran manusia. Apa sih susahnya, menghargai perbedaan. Apa susahnya tinggal coblos pemimpin pilihan kita. Lalu, kenapa harus dipertentangkan?
Lambat laun, hubunganku sulit lagi dipertahankan dengan Rangga.
Semakin lama, ia semakin kasar terhadapku. Ia lebih gemar bertengkar. Hanya karena perbedaan pilihan politik. Aku baru paham. Bahwa sebelumnya, aku terperangkap. Masuk ke dalam jebakan seorang laki-laki yang "merasa benar dalam bercinta, tapi salah berperilaku".
Hampir tidak masuk akal lagi. Emosi Rangga selalu memuncak setiap hari, setiap kali bertemuku. Hingga saat menjempuku ke kampus hari ini. Tanpa basa-basi, ia meminta sesuatu yang mengejutkan.
"Aku kasih pilihan, kamu ikuti pilihanku atau kita cukupkan hubungan ini" ancam Rangga.
"Baik, bila itu maumu. Aneh, cuma soal politik bisa merasuk ke urusan kita. Aku putuskan kita cukupkan hubungan ini..." jawabku dengan lantang.
Aneh. Cuma gara-gara nafsu berkuasa, banyak orang bertindak tidak masuk akal. Mereka membolehkan untuk membenci atau menghujat. Karena ingin menang. Kadang, mereka hampir lupa. Bahwa di balik ini semua, ada kekuatan yang tidak bisa disangkal. Yaitu, skenario Allah SWT.
Kini, aku belajar. Dari cinta dari politik.
Mengapa ada orang yang berani berlaku kasar kepadaku padahal ia cinta? Aku pun aneh, kenapa aku masih cinta bila sudah tidak sepaham.
Adalah saat yang tepat.
Untuk aku katakan dengan tegas. Bahwa aku tidak bisa lagi kompromi dengan apa yang disebut cinta. Maka aku hapus nama itu dari hidupku! Karena, aku salah mencintaimu ...
Sore ini, senja pun hampir tenggelam. Aku perlahan-lahan meninggalkan kampus. Sambil meninggalkan kenangan bersama Rangga. Â Sambil mendoakan yang terbaik bersamanya.
Biarkan cinta yang salah ini aku buang jauh-jauh...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H