Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Mitos dan Realitas di Panggung Pilpres 2019

13 April 2019   08:40 Diperbarui: 13 April 2019   14:31 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pilpres kian memanas. Sentimen dan emosi banyak orang tersedot, terseret ke urusan ajang lima tahunan ini. Saling adu pujaan, adu argumen. Bahwa si A lebih baik, si B lebih keren. Dan sama sekali tidak perlu disanggah. Karena orang yang gak bisa dibilangin, selain orang yang lagi jatuh cinta ya pendukung capres.

Selain logika, mitos pun beredar di seputar Pilpres. Apalagi di hari-hari penting mulai hari ini hingga 17 April 2019 nanti. Mitos yang menyertai pikiran kaum logis. Mitos pilpres yang dianggap dapat menentukan untung ruginya hidup si pemilih. Spiritualnya kuat, tapi mitosnya pun hebat.

"Jangan pilih si A, nanti bangsa ini jadi begini ..." Boleh jadi itu hanya mitos. Persis sama seperti jomblo yang bilang "kalo jodoh gak ke mana". Lha, kalo gak ikhtiar gak doa, mana mungkin si jodoh mau datang. Apalagi bawaannya jutek, siapa yang mau deketin?  

Kata penganut mitos, "Tim papan atas selalu menang dari papan bawah", "Orang kaya itu lebih bahagia daripada orang miskin", "Gak boleh potong kuku malam hari", atau "jangan ngelayap di waktu maghrib". Itu semua mitos, belum tentu benar.

Seperti di Pilpres, makin banyak celotehan yang berbau mitos. Seperti kebencian, hoaks, fitnah, dan hujatan, bisa jadi mitos juga bagian yang tidak terpisahkan dari ketakutan atau kekhawatiran.

Dokpri
Dokpri

Dinamika politik memang sudah bergeser. Itu bukan mitos tapi realitas. Bergeser dari yang konkret menuju yang abstrak. Dari yang rasional menjadi tidak rasional. Kalo si ini kepilih jadi begini. Kalo si itu yang kepilih bakal begitu.

Mitos itu bukan realitas. Karena mitos sama sekali gak bisa dianalisis dengan logis. Satu yang pasti, mitos pun bukan religius; bukan keyakinan. 

Maka jangan "memaksa mitos" menjadi "keharusan realitas". Apapaun bentuknya. Mito situ gak lebih hanya perilaku yang mengeramatkan, mengagungkan secara berlebih-lebihan tentang sesuatu. Mendewa-dewakan sesuatu itu mitos.

"Bila kita tidak menang, berarti ada kecurangan".

Bisa jadi itu mitos. Akibat ketakutan untuk kalah atau khawatir tiak mampu meraih kekuasaan. Ajangnya sangat rasional dan logis. Karena memang tiap 5 tahun pasti ada pilpres. Tapi pikirannya dirasuki dengan banyak mitos.

Giliran mitos jadi realitas maka buru-buru mitos itu dianggap sebagai keyakinan. Giliran mitos gak jadi realitas, mitos dianggap ditebarkan telah terjadi kecurangan. Orang sekarang emang begitu sih. Apa yang ada di pikirannya maunya danggap benar. Sementara pikiran orang lain salah. 

Cuma gara-gara nafus berkuasa, pengennya menang di segala hal. Dan membolehkan melakukan apapun, termasuk membenci dan menghujat sekalipun. Kadang, mereka hampir lupa. Bahwa di balik ini semua, ada kekuatan yang gak bisa di sangkal. Yaitu, skenario Allah SWT.

Mitos atau bukan mitos itu hanya fenomena, gak lebih dari suatu keadaan. Sisanya, biarkan tetap jadi misteri orang hidup. Gak usah kebanyakan mitos. Pilpres itu anugerah dari-Nya. Kita tinggal jalanin saja tanggung jawab sebagai warga negara. Hanya 1 menit kok. Datang ke TPS dan coblos yang kita pilih. Udah segitu doang.

Lalu, buat apa membenci, menghujat bahkan menebar permusuhan akibat perbedaan. Kalo gak bisa sama kan gak perlu dilarang untuk beda. Setiap orang punya pilihan dan sikap masing-masing. Hormati dan jalani saja. Gak usah berisik, gak usah koar-koar. Jangan kita, presiden terpiliha aja gak bakal ngasih makan kita kok. 

Jadi rileks saja. Jalani saja realitas yang ada. Kalo pilihan saya kalah, ya udah. Kalo pilihan saya menang ya udah. Kan saya udah gunakan hak saya sebagai warga negara. Terus, mau ngapain lagi?

Jadi, hiduplah dalam realitas. Saat pilpres ataupun sesudahnya. Jangan hidup di dalam mitos. Karena mitos, gak akan pernah mendewasakan penganutnya. Tetaplah berpijak di bumi, jangan terlalu nafsu atau hidup dalam mimpi. 

Gak usah ngotot. Rileks saja. Sebentar lagi piplres juga udah lewat dan si pilpres pun gak bakal menoleh ke belakang. Karena dia cuma numpang lewat. Kita cukup hanya ikhtiar dan berdoa. Selebihnya, biarkan Allah bekerja untuk kita.

Bila hari ini ada, tukang becak bisa punya bini sampe tiga dan hidup sederhana di rumah bininya masing-masing dengan bahagia. Sungguh, itu bukan mitos tapi realitas. Karena si tukang becak tetap rajin mengayuh dan tahu apa yang harus dilakukannya. Ia tidak hidup dalam mitos.

Ketahuilah, guru spiritual yang paling baik adalah realitas, sedangkan guru realitas yang paling kerenadalah spiritualitas. Hidup dalam realitas, bukan pada mitos .... Ciamikk #TGS #Pilpres2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun