Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Asesor Kompetensi Dana Pensiun - Mantan Wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku diantaranya JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sepenggal Kisah Senyuman Anak Yatim Jelang Lulus SMA

2 Desember 2018   19:52 Diperbarui: 2 Desember 2018   20:14 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Jika boleh sepakat, tidak ada seorang anak pun yang ingin "ditinggal" ayahnya alias yatim. Bahkan tidak ada satu anak pun yang "terpaksa" bersedih hati karena kangen pada sosok ayahnya. Tidak satu pun...

Tapi lain halnya dengan Fulanah binti Fulan, anak yatim berusia 18 tahun. 

Sungguh, dia hanya seorang anak yatim yang gak pernah melihat sosok ayah.  Karena sejak di dalam kandungan, dia tidak mengenal sosok ayah. Jangan dibelai rambutnya, tahu wajah ayahnya pun tidak. Karena sang ayah meninggalkan rumah akibat sakit jiwa, mungkin karena himpitan ekonomi. 

Bak petir di siang bolong, mungkin 8tahunan lalu, tiba-tiba Fulanah pun mendengar kabar ayahnya meninggal dunia. Di daerah Bojong Gede, tempat terakhir keberadaannya. Dari sejak lahir hingga kini, Fulanah tinggal bersama neneknya. Di rumah yang sederhana tapi serba kekurangan.

Fulanah binti Fulan, memang sejak SMP tahun 2013-an lalu sudah menjadi salah satu dari 12 anak yatim binaan saya di Kampung Warung Loa, Desa Sukaluyu Kaki Gn. Salak Bogor. Anak yatim binaan saya yang tiap bulan ke rumah dan mengaji, membaca doa, dan sedikit berbagi uang jajan/uang sekolah.

Dan sekitar 2,5 tahun lalu, ketika lulus SMP, Fulanah pamitan ke saya untuk tidak mengikuti pengajian yatim binaan. Dikarenakan dia tidak akan melanjutkan sekolah SMA. Karena tidak ada biaya, apalagi tinggal hanya bersama nenek yang sudah renta. Berdebarlah dada saya, sambil bertanya dalam hati "apa yang bisa saya perbuat untuk anak ini?". Prihatin bercampur sedih...

Allah SWT, sungguh sangat besar. Maha kuasa lagi maha penyayang. Kini, tidak terasa keputusan saya untuk menjadikan Fulanah binti Fulan sebagai "anak angkat", berjalan begitu saja. Saya dan keluarga bertanggung jawab penuh untuk membiayai dia melanjutkan sekolah ke SMA, kebetulan dia diterima di SMA Negeti 1 Tamansari Kab. Bogor.  

Biaya pendaftaran 4 juta, lalu uang SPP 200 ribu per bulan. Kini, Fulanah sudah kelas 3 SMA dan hari ini uang SPP 6 bulan terakhir pun lunas saya bayarkan, 350 ribu per bulan. Ini hanya pesan moral buat Pemda Kabupaten Bogor atau Pemda Propinsi Jabar, berjuanglah untuk membebaskan biaya sekolah atau SPP untuk memutus mata rantai anak-anak putus sekolah. Adalah tanggung jawab pemerintah untuk meringankan beban biaya sekolah, khususnya anak-anak yatim. Termasuk biaya kesehatan mereka.

Sungguh, tulisan ini bukan untuk riya. Apalagi menyombongkan diri. Sama sekali tidak. Justru tulisan ini saya buat sebagai wujud syukur karena "perjalanan" menjadi orang tua angkat dari Fulanah tidak mudah, harus dipertimbangkan dengan matang. Agar anak yatim seprti Fulanah tidak kecewa. Dan alhamdulillah, sekarang sudah tuntas dan berjalan dengan lancar. Insya Allah, 6 bulan lagi Fulanah pun akan lulus SMA.

Lalu, dari mana uang jajan atau ongkos sehari-hari Fulanah?

Alhamdulillah, Fulanan tetap ikut pengajian bulanan yatim binaan saya, selalu ada uang jajan yang bisa dipakai. Bahkan untuk tambahan, Fulanah pun saya jadikan Petugas TBM Lentera Pustaka (bersama Wiwit) yang selalu saya beri honor setiap bulan. Alhamdulillah dan patut disyukuri, semua berjalan lancar dan tidak kurang suatu apapun selama Fulanah sekolah di SMA. Bahkan prestasi belajarnya pun saya patut bangga.

Jujur, Fulanah bukanlah anak yatim pertama yang menjadi "anak angkat". Tapi anak yatim ke-4 yang selalu saya niatkan bisa lulus SMA. Agar tidak putus sekolah. Bahkan ada yang tinggal serumah denab keluarga saya. Tapi Fulanah tetap di rumah neneknya saja. Tentu, ada pertimbangannya. Belum berakhir, saya pun berniat selulus SMA nanti, Fulanah bisa melanjutkan ke Perguruan Tinggi untuk kuliah. Nah, bila Allah mengabulkan, maka dia menjadi anak yatim pertama yang saya kuliahkan. Wallahu a'lam bishowab.

Mohon maaf, sekali lagi mohon maaf.  Mungkin sebagian orang, memandang tulisan ini dianggap riya'. Boleh-boleh saja dan silakan. Tapi dari lubuk hati yang paling dalam, tidak begitu. Justru tulisan ini, saya ekspresikan sebagai wujud syukur agar saya "tetap eling" atas kepedulian dan komitmen untuk membina anak-anak yatim. Karena sekarang dan setaip bukan, ada 34 anakyatim binaan yang rutin mengaji di 3 lokasi; Petukangan - Cileungsi - Wr. Loa Gn. Salak. Saya dan mereka, setiap bulan bertemu, mengaji, membaca doa, bernasehat dan menyisihkan sebagian rezeki untuk mereka.

Tidak untuk apa-apa. Selain untuk mengingatkan diri sendiri agar tetap istiqomah dalam berbuat untuk sesama, berjuang untuk kebaikan di jalan Allah. Atas apa yang saya bisa. Selebihnya, Allah SWT yang telah bekerja untuk saya dan keluarga. Agar selalu diberi kesehatan, kemudahan dan keberkahan dalam hidup.

Sekaligus memberi pesan bahwa manusia pada dasarnya 'bukan apa-apa, bukan siapa-siapa". Karena itu, tebarkanlah kebaikan dalam bentuk nyata kepada sesama. Ketika kita menebar kebaikan, maka kebaikan pula yang akan menghampiri kita.

Ketahuilah, sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat untuk manusia lainnya. Tentu, dalam arti sesungguhnya bukan hanya niat atau wacana.

Bersama anak yatim, saya pun belajar. Bahwa mereka bukan anak-anak yang perlu dikasihani. Tapi anak-anak yang harus dibantu oleh kita-kita yang "merasa" mampu. Agar tidak ada anak yatim yang putus sekolah.

Sungguh, di dekat kita, masih ada anak-anak yang tidak seberuntung anak-anak  lainnya. Jangankan menonton TV, makan enak atau berwisata, anak-anak yatim bisa melanjutkan sekolah dan tetap bisa hidup seperti anak-anak lainnya saja menjadi sesuatu yang berharga, luar biasa. Karena ancaman kemiskinan dan kebodohan selalu menghantui mereka.

Sungguh, Allah SWT  tidak melihat bentuk rupa dan harta benda kita. Tapi melihat hati dan amal kita. Maka buatlah anak-anak yatim selalu tersenyum saat di dekat kita ... 

Izinkan saya bertanya pada diri sendiri; dari mana saya berasal dan hendak ke mana saya menuju? ... Walllahu a'alam bishowab. (Gunung Salak, 2 Des 2018)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun