Filosofi Nangka
Setiba pulang kuliah, orang rumah TBM Lentera Pustaka memberi tahu "Pak, buah nangkanya dah matang?". Saya jawab, Alhamdulillah sambil melihat buahnya. Di kebun depan, memang saya tanam pohon nangka. Dan yang penting "pohonnya gak tinggi apalagi ketinggian pun gak rendah apalagi kerendahan".
Kenapa pilih pohon nangka? Ya, jangan sampai salah, Buat apa pilih orang bila aromanya saja yang wangi. Juga jangan pilih partai kalau busuk di dalamnya. Begitulah ibarat pohon nangka.
Nangka, memang bukan pohon langka. Bukan pula pohon dengan nilai ekonomis tinggi. Nangka, seperti pohon kebanyakan. Tapi tetap punya makna, punya filosofis ...
Karena pohon dan buah nangka. Bila dirawat dengan baik, maka rasa dan aromanya bisa dinikmati semua orang. Tapi sebaliknya, bila dibiarkan tidak dijaga dan tidak dirawat, maka yang didapat hanya aroma. Tidak akan ada rasa dan selera untuk menikmatinya karena busuk di dalamnya.
Seperti nangka, kehidupan pun begitu.Â
Apabila orang, lingkungan maupun negara bila eksistensinya tidak dijaga dan dirawat dengan akhlak dan iman, maka yang didapat hanyalah pesona tampilan luarnya saja. Tapi busuk di dalamnya karena penuh dengan kebencian, kebohongan bahkan hujatan.
Maka selagi baik dan kebaikan ada di dalamnya, maka tugas bersama kita untuk menjaga dan merawatnya. Bukan karena ingin meraih kekuasaan, akhirnya kita mempersilakan cara gak baik tampil ke permukaan. Kita dan siapapun, boleh kok untuk meraih mimpi dan kekuasaan. Tapi cara untuk meraihnya itulah yang harus tetap baik...
Karena buah yang baik pasti dijaga dan dirawat. Tapi buah yang gak baik, kadang hanya bagus di luarnya tapi dalamnya busuk.Â
Pohon nangka, selagi masih kecil bisa dibuat sayur asem atau rujak. Saat muda bisa dibikin gudeg. Selagi tua dan matang, sungguh buahnya nikmat luar biasa. Semasa tumbuh, dari kecil, muda, hingga tua, pohon nangka selalu memberi manfaat.
Maka filosofi nangka sederhana sekali.