Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 47 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dua Agenda Besar Profesi Guru

25 November 2018   09:35 Diperbarui: 25 November 2018   10:30 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diskursus tentang guru memang tidak akan pernah berhenti. Guru selalu ada di balik baying-bayang potret pendidikan Indonesia. Bahkan tidak jarang, guru menjadi sosok yang dianggap paling bertanggung jawab atas berhasil atau tidaknya proses belajar mengajar. Maka bukan hanya di Hari Guru, 25 November seperti sekarang. Pembahasan tentang guru selalu saja menarik da nada yang patut dikritisi.

Sebut saja kasus guru Baiq Nuril yang kini tersandung masalah hukum karena "dianggap" menyebarkan rekaman obrolan mesum kepala sekolah. Belum lagi viralnya video guru yang dirundung para siswanya di Kaliwungu Kendal. Tentu, masih banyak lagi problematika seputar guru yang selalu "menghantui" mereka seperti kekerasan di sekolah, pelecehan seksual, hingga lingkungan sekolah yang belum ramah anak.

Kualitas keluaran pendidikan di Indonesia pun sama sekali belum menggembirakan. Data UNESCO dalam Global Education Monitoring (GEM) Report 2016 menempatakan pendidikan di Indonesia berada di peringkat ke-10 dari 14 negara berkembang. Sementara kualitas guru sebagai komponen penting dalam pendidikan berada di urutan ke-14 dari 14 negara berkembang di dunia. 

Konsekuensinya, angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dari United Nations Development Programme (UNDP) tahun 2016, Indonesia hanya meraih angka 0,689 berada di peringkat 113 dari 188 negara. Bahkan tahun 2018 ini, ranking Indonesia dalam penilaian Programme for International Student Assesment (PISA), menempatkan kualitas SDM Indonesia di urutan 62 dari 69 negara. Sekalipun bukan satu-satunya profesi yang bertanggung jawab, realitas pendidikan di Indonesia yang masih rendah sama sekali tidak dapat dipisahkan dari peran dan tanggung jawab guru.

APBN tahun 2018 pun secara besar-besaran digelontorkan untuk pendidikan, mencapai Rp. 444 trilyun. Setara 20% dari total APBN. Namun sayang, besarnya dana pendidikan tidak selalu linier dengan kemajuan pendidikan. Bahkan rasio guru dengan siswa, 1 guru berbanding 15 siswa (Kemendikbud, 2018) tidak serta merta menjadikan kualitas pendidikan Indonesia lebih bermutu. 

Bandingkan dengan Jepang yang tetap sukses sistem pendidikannya dengan rasio 1 guru berbanding 29 siswa. Perlu diketahui, saat ini, jumlah guru yang ada di Indonesia mencapai 3,1 juta guru, sedangkan jumlah siswa yang ada mencapai 45 juta siswa. Semuanya terlibat proses belajar mengajar di 217.586 sekolah yang tersebar di seantero nusantara.

Melihat realitas tersebut, maka siapapun yang menjalankan profesi sebagai guru pasti dihadapkan pada tantangan yang kompleks. Guru di era revolusi industri 4.0 bukan lagi hanya mengajar dan transfer ilmu pengetahun. Tapi guru diharapkan mampu menjadi sosok sentral yang dapat membentuk kepribadian siswa yang kokoh, baik secara intelektual, moral, maupun spiritual. 

Sangat mutlak diperlukan, guru harus menjadi "model bagi 4 kompetensi sekaligus", yaitu kompetensi pedagogis, profesional, sosial, dan kepribadian sebagaimana diamanatkan dalam UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen.

Oleh karena itu, guru harus memiliki kepekaan terhadap berbagai realitas dan dinamika kehidupan di era revolusi industri 4.0 seperti sekarang. Guru harus berani memganbil peran terdepan dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Merencanakan pelajaran dengan baik, mengajar secara optimal, dan mampu mengevaluasi hasil belajar secara objektif menjadi agenda penting profesi guru. 

Harus diingat, kualitas guru tidak dinilai dari gelar sarjana yang dimilikinya atau bahkan kelulusan program sertifikasi yang diperolehnya. Kualitas guru hanya terlihat melalui kualitas siswa atau anak didik yang dihasilkannya.

Kompetensi dan Sikap Guru 

Ada dua indikator penting yang menjadi "hambatan terbesar" guru hari ini, yaitu soal kompetensi dan sikap guru. Guru semestinya dapat digugu karena kompetensinya yang berkualitas. Guru pun dapat ditiru karena sikapnya yang profesional. Guru tidak hanya menjalankan tugas mengajar di depan kelas. 

Tapi guru dituntut untuk mampu mengembangkan kemampuan dan kecerdasan siswa secara komprehensif, baik intelektual, emosional, dan spiritual. Rendahnya kualitas karakter siswa, secara otokritik, harus menjadi evaluasi bagi guru dalam proses pembelajaran di kelas.

Guru yang kompeten harus memahami problematika belajar. Belajar bukanlah proses untuk menjadikan siswa sebagai "ahli" pada disiplin ilmu tertentu. Belajar adalah proses agar siswa dapat menemukan potensi dan jati dirinya terhadap disiplin ilmu. Dengan belajar, siswa seharusnya mendapat ruang yang lebih besar untuk menambah "pengalaman". Siswa lebih membutuhkan 'pengalaman" dalam belajar, bukan "pengetahuan". 

Oleh karena itu, guru harus memiliki kompetensi yang cukup dalam proses pembelajaran. Proses belajar-mengajar dengan sistem top-down yang belum berubah dan masih menjadi favorit banyak guru di kelas harus dibuang jauh-jauh. Karena sistem top-down yang masih diterapkan di sekolah akan menghasilkan manusia yang hanya dapat memenuhi kebutuhan zaman. Sedangkan untuk menciptakan generasi yang kritis dan kreatif menjadi terabaikan.

Kurikulum tidak semestinya mengungkung kreativitas guru dalam mengajar. Kurikulum, yang katanya sudah memadai harus benar-benar dapat diwujudkan dalam praktik kegiatan belajar-mengajar yang optimal, tidak hanya menjadi simbol dalam memenuhi target pembelajaran. 

Guru yang kompeten adalah guru yang dapat mengubah kurikulum pembelajaran menjadi unit pelajaran yang mampu menembus ruang-ruang kelas. Kelas sebagai ruang sentral interaksi guru dan siswa harus dibuat bergairah, dibuat lebih menyenagkan.

Guru yang sibuk mengurus sertifikasi dan kesejahteraan semata patut dikritisi. Masih banyak guru yang bersikap kurang positif terhadap mata pelajaran yang diajarnya. Bangga mengajar mata pelajaran yang menjadi spesialisasinya adalah sikap guru yang utama. 

Bahkan guru pun harus berani bersikap untuk tidak terlibat pada urusan administrasi personalia yang berlebihan. Karena guru bertanggung jawab pada proses belajar mengajar dalam arti yang luas.

Proses pembelajaran di kelas yang monoton dan membosankan, harus diakui lebih banyak disebabkan oleh lemahnya sikap guru dalam mengajar. Siswa yang malas mengikuti pelajaran tertentu lebih banyak dipengaruhi oleh sikap guru yang acuh terhadap mata pelajarannya sendiri. Kondisi ini menjadikan siswa tidak bergairah, under estimate saat mengikuti pelajaran di kelas. 

Konsekuensinya, siswa tidak memiliki kesadaran dan pemahaman akan pentingnya mata pelajaran yang diajar guru tersebut. Uji Kompetensi Guru (UKG) dan program "peningkatan keprofesian berkelanjutan (PKB)" yang lemah di kalangan guru harus menjadi "agenda besar" yang wajib diselesaikan. Pengembangan diri guru yang tidak optimal jelas menjadi penghalang guru untuk menjadi guru profesional. 

Rendahnya budaya literasi guru, lemahnya minat dan kemampuan publikasi ilmiah di kalangan guru adalah masalah serius. Semua itu terjadi karena sikap guru yang terbilang 'malas" dan terlalu memandang biasa profesinya sendiri.

Kini, ada "pekerjaan rumah" besar bagi guru di Indonesia. Kompetensi dan sikap guru adalah masalah guru hari ini. Prioritas guru bukan lagi soal kesejahteraan. Tapi soal "kemauan" bersama untuk meningkatkan kompetensi dan sikap sebagai indikator penting kemajuan pendidikan. 

Sungguh, era revolusi industri 4.0 hanya pantas diisi oleh guru-guru yang kompeten dan punya sikap. Agar pendidikan makin berkualitas. #TGS #SelamatHariGuru

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun