Ada dua indikator penting yang menjadi "hambatan terbesar" guru hari ini, yaitu soal kompetensi dan sikap guru. Guru semestinya dapat digugu karena kompetensinya yang berkualitas. Guru pun dapat ditiru karena sikapnya yang profesional. Guru tidak hanya menjalankan tugas mengajar di depan kelas.Â
Tapi guru dituntut untuk mampu mengembangkan kemampuan dan kecerdasan siswa secara komprehensif, baik intelektual, emosional, dan spiritual. Rendahnya kualitas karakter siswa, secara otokritik, harus menjadi evaluasi bagi guru dalam proses pembelajaran di kelas.
Guru yang kompeten harus memahami problematika belajar. Belajar bukanlah proses untuk menjadikan siswa sebagai "ahli" pada disiplin ilmu tertentu. Belajar adalah proses agar siswa dapat menemukan potensi dan jati dirinya terhadap disiplin ilmu. Dengan belajar, siswa seharusnya mendapat ruang yang lebih besar untuk menambah "pengalaman". Siswa lebih membutuhkan 'pengalaman" dalam belajar, bukan "pengetahuan".Â
Oleh karena itu, guru harus memiliki kompetensi yang cukup dalam proses pembelajaran. Proses belajar-mengajar dengan sistem top-down yang belum berubah dan masih menjadi favorit banyak guru di kelas harus dibuang jauh-jauh. Karena sistem top-down yang masih diterapkan di sekolah akan menghasilkan manusia yang hanya dapat memenuhi kebutuhan zaman. Sedangkan untuk menciptakan generasi yang kritis dan kreatif menjadi terabaikan.
Kurikulum tidak semestinya mengungkung kreativitas guru dalam mengajar. Kurikulum, yang katanya sudah memadai harus benar-benar dapat diwujudkan dalam praktik kegiatan belajar-mengajar yang optimal, tidak hanya menjadi simbol dalam memenuhi target pembelajaran.Â
Guru yang kompeten adalah guru yang dapat mengubah kurikulum pembelajaran menjadi unit pelajaran yang mampu menembus ruang-ruang kelas. Kelas sebagai ruang sentral interaksi guru dan siswa harus dibuat bergairah, dibuat lebih menyenagkan.
Guru yang sibuk mengurus sertifikasi dan kesejahteraan semata patut dikritisi. Masih banyak guru yang bersikap kurang positif terhadap mata pelajaran yang diajarnya. Bangga mengajar mata pelajaran yang menjadi spesialisasinya adalah sikap guru yang utama.Â
Bahkan guru pun harus berani bersikap untuk tidak terlibat pada urusan administrasi personalia yang berlebihan. Karena guru bertanggung jawab pada proses belajar mengajar dalam arti yang luas.
Proses pembelajaran di kelas yang monoton dan membosankan, harus diakui lebih banyak disebabkan oleh lemahnya sikap guru dalam mengajar. Siswa yang malas mengikuti pelajaran tertentu lebih banyak dipengaruhi oleh sikap guru yang acuh terhadap mata pelajarannya sendiri. Kondisi ini menjadikan siswa tidak bergairah, under estimate saat mengikuti pelajaran di kelas.Â
Konsekuensinya, siswa tidak memiliki kesadaran dan pemahaman akan pentingnya mata pelajaran yang diajar guru tersebut. Uji Kompetensi Guru (UKG) dan program "peningkatan keprofesian berkelanjutan (PKB)" yang lemah di kalangan guru harus menjadi "agenda besar" yang wajib diselesaikan. Pengembangan diri guru yang tidak optimal jelas menjadi penghalang guru untuk menjadi guru profesional.Â
Rendahnya budaya literasi guru, lemahnya minat dan kemampuan publikasi ilmiah di kalangan guru adalah masalah serius. Semua itu terjadi karena sikap guru yang terbilang 'malas" dan terlalu memandang biasa profesinya sendiri.