Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 47 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Sentimen Bahasa Politik, Teks Sarkasme Penuh Akrobatik

28 Oktober 2018   19:12 Diperbarui: 28 Oktober 2018   19:30 1180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kata orang bahasa. Sentimen itu "pendapat yang didasari perasaan yang berlebih-lebihan". Kadang, bertentangan dengan pikiran, mungkin pula realitas. Sentimen pula yang menjadi sebab suka atau tidak suka kita kepada orang lain. Akibat emosi yang berlebihan. Atau karena iri hati; alias tidak senang. Bentuk reaksinya ya "sentimen". Atau kaum religius menyebutnya "ghirah".

Kenapa haru berbahasa dengan sentimen? 

Alasannya, tentu banyak sebab. Tapi survei membuktikan. Sentimen itu terjadi karena tidak suka, tidak senang kepada orangnya. Bisa juga sentiment terjadi karena kita tidak kenal orangnya. Atau sentiment akibat beda pendapat, beda pilihan apalagi beda kelas sosial. Siapa yang sentiment? Pasti karena tidak suka, tidak senang. Itu dalih sangat sederhana. Jangankan di urusan pertarungan pilpres atau di urusan negara dan bangsa; di urusan keseharian pun banyak orang yang sentimen.

Patut diketahui, sentimen bahasa politik pasti terjadi.

Utamanya pada mereka yang punya ego merasa paling benar. Alhasil, orang-orang yang sentimen jadi lebih mudah "mengecap" orang lain lebih buruk dari dirinya. Bolehlah disimpulkan, orang sentiment lebih suka mencari kesalahan orang lain.

Sentimen bahasa politik. Persis seperti "pertarungan liar" yang digelindingkan hingga ke akar rumput, ke kelompok masyarakat kebanyakan. Pelbagai cara ditempuh, mirip silogisme dan logika sederhana yang "diracik" dengan perasaan. Maka jadilan itu barang; sentimen bahasa politik. Bahasa yang dipasang sebagai ranjau politik untuk menjungkalkan lawan politiknya. 

Semua pihak yang bertarung pasti dalam posisi berseberangan. Mereka berjibaku dengan kata-kata dan teks bahasa untuk menghebatkan diri sambil melecehkan lawan, mensucikan diri sambil menajiskan lawan, membenarkan diri sambil menyalahkan lawan, memuji diri dengan menghina lawan. Sentimen bahasa politik, tak ubahnya hanya permainan licik.

Sungguh hari ini, masyarakat pun sudah jengah dengan politik. 

Masyarakat pun lelah melihat tingka politikus serakah tanpa amanah. Politik dan politikus, sungguh hanya penjelajah yang esok bakal membantah. Maka kita, jangan sampai terbelah-belah karena sumpah serapah mereka.

Waspada atas sentimen bahasa politik.

Sungguh, tutur kata sentimen tidak ada untungnya. Kalimat sentimen pun banyak ruginya. Berbahasa politik penuh sentimen hanya menjadi sebab rugi; untuk orangnya, untuk bangsanya, bahkan untuk orang yang dibelanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun