Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Sentimen Bahasa Politik Kian Merajalela

25 Agustus 2018   22:35 Diperbarui: 25 Agustus 2018   22:38 1700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika kita berkomentar nadanya miring. Alias banyak negatifnya. Bisa jadi, itu karena sentimen. Basisnya, ketidak-sukaan, kadang kebencian. Tidak suka negaranya baik. Tidak senang pemimpinnya bekerja. Maka wajar, jika opening ceremony Asian Games yang segitu meriah dan megah pun masih mampu dicemooh, dinyinyirin. Kenapa? Karena sentimen. Sesederhana itu saja.

Sentimen, kadang sah-sah saja. Sentimen boleh saja. Apalagi di medsos. Boleh dibilang tiada hari tanpa sentimen. Sehingga merebak dan melimpah ruah, kata-kata atau kalimat yang penuh sentimen. Sentimen bahasa politik kian merajalela.

Kalau kata orang bahasa. Sentimen itu "pendapat yang didasari perasaan yang berlebih-lebihan". Kadang, bertentangan dengan pikiran. Jika ada orang yang tidak suka pada kita, itu bisa jadi karena sentimen. Akibat emosi yang berlebihan. Atau karena iri hati; alias gak senang. Bentuk reaksinya ya "sentimen". Atau kaum religius bilang "ghirah".

Kenapa sentimen? Tentu banyak sebab. Tapi survei membuktikan. Sentimen itu terjadi bisa disebabkan karena kita gak kenal orang yang di-sentimen-in. Atau karena beda pendapat, beda pilihan. Ego merasa paling benar, merasa tersaingin pun bias jadi sebab sentimen. Alhasil, orang-orang yang sentimen jadi lebih mudah "mengecap" orang lain lebih buruk dari dirinya. Bolehlah disimpulkan, orang sentimen biasanya terjadi pada orang yang gemar "mengintip" laju orang lain, doyan mencari kesalahan orang lain.

Lalu, apa untungnya mengumbar sentimen?

Sungguh, gak ada untungnya. Bertutur kata, berbahasa penuh sentimen hanya menimbulkan "kerugian". Rugi buat orangnya, rugi buat lingkungannya, bahkan bisa jadi rugi buat yang dibelanya.

Orang-orang yang sentimen kadang lupa.

Bahwa menjauhkan "bahaya" dan dampak buruk dari apa yang dikatakan itu lebih utama daripada memperjuangkan manfaatnya. Menolak terganggunya keharmonian dan persatuan sebagai bangsa itu lebih penting daripada memenangkan orang yang dibelanya. Ciamikk #TGS #SentimenBahasaPolitik    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun