Sikap untuk tetap harmonis, menjaga keseimbangan. Karena gakk ada manusia yang sempurna. Jika ada kelebihan pasti ada kekuarangan. Jika ada suka pasti ada duka. Jika ada musim kering pasti ada musim subur. Saling mengisi, saling melengkapi. Itu baru romantisme.
Persis, seperti di bulan puasa. Sebut saja "romantisme puasa".
Pagi hingga sore kita menahan rasa lapar dan haus. Lalu tiba waktunya berbuka puasa. Di malam hari pun, khusyuk sholat tarawih dan tadarus Al Quran. Siang hari bekerja, malam hari ibadah. Sebelumnya tukang ngomong, kini menjadi tukang merenung. Tukang komen jadi tukang introspeksi diri. Itulah romantisme berpuasa. Mampu menahan diri, selalu ikhtiar menjaga keseimbangan.
Romantisme puasa.
Kemarin, mungkin kita punya catatan yang mengecewakan dan menyakitkan. Hidup penuh keluh kesah, kebencian hingga kemarahan. Biarkan itu semua ada di "kantong sebelah kiri yang berlubang".
Sebaliknya, mungkin kita juga punya catatan indah dan menyenangkan. Menebar kebaikan, penuh toleransi, dan gemar berbuat baik. Maka biarkan pula semua itu ada  di "kantong sebelah kanan yang tidak berlubang".
Apa artinya romantisme puasa?
Sungguh tidak lain, Tentang pentingnya menyimpan semua yang baik dan indah dalam hidup kita di "saku yang tidak berlubang". Agar tidak satupun yang baik hilang dari hidup kita. Romantisme puasa pun, menyuruh kita menaruh semua hal yang buruk dan menyakitkan di "saku yang berlubang". Agar keburukan itu mudah jatuh dan hilang. Â Agar kita tidak perlu mengingatnya kembali.
Â
Setiap manusia pasti punya romantika.
Maka bulan puasa pun pantas menjadi bulan romantika. Bulan suci untuk muhasabah diri; menghitung-hitung lebih banyak baiknya atau buruknya. Mulai dari pikiran, sikap, dan perilaku. Lebih sering baik atau buruk?Â