Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 47 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hidup Patah Tanpa Pepatah

18 April 2018   05:32 Diperbarui: 18 April 2019   21:53 792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika naluri dan akal berpadu, bersinergi. Di situlah manusia gak akan pernah istirahat dari kecemasan dan arogansi yang dia bangun sendiri. Menjadikan mereka selalu gak puas, dan ingin menang sendiri. Naluri dan akal kalo udah ngumpul, seremnya luar biasa. Mereka akan berbohong dan saling menipu satu sama lainnya. Itulah inti hidup di atas "keinginan yang gak pernah berhenti akan kekuasaan dan kekuasaan" (restless desire of power after power).

Adalah wajar di zaman now. 

Setiap orang selalu melihat orang lain sebagai ancaman, sebagai serigala yang siap memangsa dirinya (homo homini lupus). Itu karena nafsu untuk berkuasa, naluri untuk menyisihkan orang lain.

Lha ini tulisan kenapa jadi ngelantur ya. Maaf deh ya. Kembali ke pepatah, alias peribahasa. Dulu nenek moyang kita, dibesarkan oleh banyak pepatah. Agar hidupnya hati-hati, ada wejangan yang dijadikan pegangan. Kalo sekarang, kita hidup di era milenial di era digital. Era di mana tanpa belajar pun semua orang bisa dan boleh "berceramah". Eranya "banyak omong tanpa perlu dilakonin". Itulah era "memberi pelajaran" tanpa perlu "mempelajarinya apalagi melakoninya".   

Kita, udah hampir lupa pepatah. Nasehat yang harusnya bikin eling, bikin mawas diri.

- Awak yang tidak pandai menari malah dibilang "lantai yang terjungkat".

- Gajah bertengger di pelupuk mata tiada tampak, tapi "kuman di seberang lautan tampak".

- Bagai balam dengan ketitiran

Itu semua hanya pepatah. Tapi jika diartikan semuanya, kira-kira. "Kita gak tahu apa-apa, tapi yang disalahin orang lain terus. Maka wajar, kesalahan orang yang sedikit tampak, tetapi kesalahan sendiri yang sangat besar, gak kelihatan. Akhirnya, selalu berselisih hingga gak mampu lagi bersatu-padu."

Jika dinasehati susah. Maka pepatah-lah yang bisa jadi obatnya. Maka pepatah, harus tetap ada di tengah antara naluri dan akal manusia. 

Zaman now ya udah begini adanya. Tapi zaman now harus paham. Sama sekali gak cukup punya pikiran yang bagus kalo gak mampu menggunakannya dengan baik. 

Kembalilah ke pepatah agar kita tidak patah... ciamikk #TGS

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun