Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Asesor LSP Dana Pensiun Lisensi BNSP - Edukator Dana Pensiun - Mantan Wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku diantaranya JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Filosofi Singkong, Hidup Alami Tanpa Rekayasa

1 April 2018   09:06 Diperbarui: 1 April 2018   09:39 2460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalo ada tanaman yang hidupnya gak ribet, dalam kondisi apapun. Tapi tetap tumbuh menjulang dan membesar. Itulah pohon singkong. Mau musim panas atau hujan, mau musim pilkada atau gak. Singkong atau manihot utilissima tetap tumbuh.

Hebatnya, singkong itu gak ribet. Dia tetap tumbuh dalam keadaan apapun. Simpel dan alami, tanpa rekayasa.

Zaman now. Banyak orang pergi ke mal, ke super market beli makanan ringan yang gurih renyah. Ehh, gak taunya itu terbuat dari singkong. Jangankan orang, singkong juga kalo di "make up", dibumbui jadinya ciamikk, enak dan gak ada duanya.

Singkong, boleh dibilang makanan kaum alit. Bukan kaum elit. Tapi tahukah kita?

Kalo ada tanaman yang semua bagian pohonnya berguna, itu dimiliki pohon singkong. Daunnya bisa buat lalapan atau sayur. Batangnya sering dijadikan pagar atawa ditanam kembali. Buahnya, nikmat luar biasa. Hebatnya lagi, pohon singkong saat tumbuh meninggi, menjulang tinggi setinggi apapun. Tapi bagian yang membesar, tetap bagian bawahnya, akar yang menjadi buahnya.

Begitu harusnya manusia.

Siapapun, boleh meninggi atau menjulang mau jadi apapun. Pangkat, harta, kedudukan atau status sosial. Tapi manfaatnya harus tetap terasa sampai "ke bawah", ke orang-orang yang membutuhkan. Karena buat apa tinggi, tapi untuk diri sendiri doang.

Singkong itu gak keren. Begitu kata sebagian orang. Iya karena singkong dianggap panganan orang kampung. Maka gak keren. Wajar.

Tapi kita sering lupa. Hari ini banyak orang keren karena rekayasa. Keren bukan aslinya, bukan apa adanya. Beda sama singkong yang selalu tumbuh alamiah. Sederhana, hidup tanpa intrik. Singkong, biar tinggi biar besar, sama sekali gak mau gagah-gagahan. Gak mau ribet, gak mau nyinyir pada pohon singkong lainnya.

Sementara di luar sana. Banyak orang yang mengajarkan pentingnya HIDUPNYA SEDERHANA. Tapi faktanya, mereka tidak hidup sederhana, memaksa ikut gaya hidup orang kebanyakan. Bisa jadi, mereka sudah lama tidak makan singkong.

SINGKONG, nama kerennya "manihot utilissima". Itu simbol kesederhanaan yang paling pas. Nrimo ing pandum, menerima apa adanya. Kalo kata agama; bersifat qona'ah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun