Guru adalah elemen penting dalam pendidikan.
Akan seperti apa dan bagaimana bangsa Indonesia di masa depan, sangat bergantung pada kualitas guru. Saking pentingnya peran dan tanggung jawab guru, UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen menyebutkan guru sebagai agen pembelajaran (learning agent) yang harus menjadi fasilitator, motivator, pemacu, perekayasa pembelajaran, dan pemberi inspirasi belajar bagi peserta didik.
Konsekuensi logisnya, anggaran pendidikan tahun 2017 alokasinya 20% dari total APBN. Nilainya mencapai Rp. 419 triliun. Walau agak ironis, karena sebagian besar anggaran pendidikan tersebut digunakan untuk gaji dan tunjangan guru. Maka wajar, rata-rata tingkat penghasilan guru mengalami lonjakan tiga kali lipat. Sementara alokasi untuk pembangunan maupun renovasi sekolah masih sangat kecil.
Ironisnya lagi, data UNESCO dalam Global Education Monitoring (GEM) Report 2016,pendidikan di Indonesia hanya menempati peringkat ke-10 dari 14 negara berkembang. Sedangkan komponen penting dalam pendidikan yaitu guru menempati urutan ke-14 dari 14 negara berkembang di dunia.
Kualitas pendidikan di Indonesia masih jauh dari memadai. Besarnya anggaran pendidikan pun tidak serta merta menjadikan kualitas pendidikan meningkat. Mengapa? Karena kualitas guru masih bermasalah. Suka tidak suka, hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) tahun 2015, rata-rata nasional hanya 44,5 berada jauh di bawah nilai standar 75. Â Bahkan kompetensi pedagodik, yang menjadi kompetensi utama guru pun belum menggembirakan. Masih banyak guru yang cara mengajarnya kurang baik, cara mengajar di kelas membosankan. Inilah momentum yang tepat untuk mengkritisi soal kompetensi guru.
Kompetensi Guru
Patut disepakati, persoalan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia tentu tidak bisa dijawab dengan cara mengubah kurikulum. Atau bahkan mengganti menteri atau dirjen. Kualitas pendidikan hanya bisa dijawab oleh kualitas guru. Guru yang professional, guru yang berkualitas adalah jaminannya. Tanpa perbaikan kualitas guru maka kualitas pendidikan akan tetap "jauh panggang dari api", akan tidak memadai.
Bayangkan saja, dari 3,9 juta guru yang ada saat ini, masih terdapat 25% guru yang belum memenuhi syarat kualifikasi akademik dan 52% guru belum memiliki sertifikat profesi. Di sisi lain, seorang guru dalam menjalankan tugasnya harus memiliki standar kompetensi yang mencakup: kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.
Kita masih ingat, penerapan sekolah 5 hari yang menimbulkan polemik. Bahkan penerapan Kurikulum 2013 yang "terpaksa" dibatalkan akibat guru yang belum paham betul. Banyak guru yang bingung sehingga pembelajaran tidak berjalan optimal. Maka upaya meningkatkan kompetensi guru sebagai pelaksana kurikulum di kelas sangatlah penting. Karena sebaik apapun kurikulum yang ada, tidak akan bisa berjalan dengan baik tanpa didukung guru yang berkualitas.
Persoalan guru memang tidak sederhana. Walau jangan pula dinyatakan terlalu kompleks. Membahas kompetensi guru, prinsip dasarnya adalah memetakan faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya kompetensi guru.
Dalam konteks ini, setidaknya dapat diduga ada empat penyebab rendahnya kompetensi guru: