Apalah arti sebuah nama? Begitu kata William Shakespeare.
Namun nama menjadi penting ketika melekat pada "nama program studi" di perguruan tinggi. Karena dari nama itu, tersirat pesan "kompetensi dan profesionalisme dalam bidang ilmu" yang digelutinya. Maka nama, menjadi penting adanya.
Terkait dengan Keputusan Menristekdikti RI No. 257/M/KPT/2017 tentang NAMA PROGRAM STUDI PADA PERGURUAN TINGGI tertanggal 5 September 2017. Sebut saja, nomenklatur program studi di perguruan tinggi.
Dalam keputusan tersebut, tersirat nama program studi dalam rumpun ilmu PENDIDIKAN (EDUCATION), yaitu: Pendidikan Bahasa Indonesia - PBI (Indonesia Language Education)dan Pendidikan Sastra Indonesia - PSI (Indonesia Literature Education). Sementara di sekolah atau lembaga pendidikan, nama mata pelajaran yang diajarkan adalah BAHASA INDONESIA.Â
Mohon dipahami, saya sendiri adalah seorang alumni program studi "Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia - PBSI" tahun 1994. Bahkan sekarang, hampir semua rekan saya yang menjadi guru, mengajar Bahasa Indonesia di berbagai jenjang pendidikan. Dan saya dulu, belajar bahasa Indonesia; belajar sastra Indonesia sebagai landasan kompetensi untuk mengajar.
PBI untuk Pendidikan Bahasa Indonesia dan PSI untuk Pendidikan Sastra Indonesia.
Maka izinkan saya untuk membangun logika dasar. PBI tentu logika "hanya" belajar Bahasa Indonesia. PSI pun logikanya "hanya" belajar Sastra Indonesia. Atau setidaknya, PBI materi belajarnya lebih dominan bahasanya daripada sastranya. Sebaliknya PSI, materi belajarnya lebih dominan sastranya daripada bahasanya. Betul tidak logika itu? Silakan dicermati.
Nah, karena ini tergolong dalam rumpun "pendidikan" maka seharusnya nama program studi itu "diadakan" karena ada mata pelajaran tersebut di sekolah atau di lembaga pendidikan. Buat apa ada "judul pendidikan" jika tidak ada yang bisa dididik dalam bidang studi itu?
Berangkat dari keputusan nomenklatur ini, saya mencoba mengkritisi "nomenklatur PBI dan PSI" di perguruan tinggi. Hal ini saya lakukan sebagai bentuk kepedulian terhadap disiplin ilmu atau bidang studi yang sudah saya tekuni lebih dari 28 tahun hingga saat ini. Di samping, ada kerancuan baru dalam konteks link & match, antara realitas di lapangan dengan apa yang dilakukan dalam nomenklatur ini.
Beberapa sikap kritis saya terkait nomenklatur PBI (Pendidikan Bahasa Indonesia) dan PSI (Pendidikan Sastra Indonesia) di perguruan tinggi adalah sebagai berikut:
- Dengan mengacu nama mata pelajaran atau bidang studi di sekolah/lembaga pendidikan saat ini "Bahasa Indonesia", pertanyaannya siapa yang paling berhak mengajar Bahasa Indonesia di sekolah ? Apakah lulusan PBI atau PSI ? Jika materi pembelajaran Bahasa Indonesia saat ini lebih berorientasi ke "bahasa", maka yang lebih berhak adalah lulusan PBI. Lalu, lulusan PSI akan mengajar apa? Bukankah sastra "hanya" menjadi bagian 1/5 atau 1/6 dari pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah?
- Apakah nomenklatur PBI dan PSI ini bisa dikatakan sebagai isyarat bahwa mata pelajaran di sekolah nantinya akan ada "pelajaran bahasa" dan "pelajaran sastra"? Ada guru bahasa, ada guru sastra. Atau mata pelajarannya tetap saja, tapi akan ada 2 guru yang berbeda dalam 1 mata pelajaran, yang satu guru bahasa dan yang satu lagi guru sastra. Atau apakah nomenklatur PBI dan PSI akan "memaksa" lahirnya mata pelajaran baru di sekolah?
- Dengan nomenklatur ini, berarti saya harus mengubah "cara pandang" bahwa sastra tidak hanya masuk dalam "rumpun ilmu humaniora" tapi sastra dianggap sebagai ilmu pendidikan. Â Sejak kapan, sastra dianggap ilmu pendidikan? Lalu, apa yang menjadi pembeda antara sastra sebagai ilmu humaniora dan sastra sebagai ilmu pendidikan ? Sungguh, ini menjadi "blunder" keilmuan yang patut disikapi banyak pihak di perguruan tinggi.
- Apakah nomenklatur ini menandakan kampus-kampus yang hanya baru punya program studi PBI, diperkenankan membuka program studi PSI? Bisa iya bisa tidak. Tapi justru persoalannya bukan di situ. Namun kualitas pembelajaran seperti apa yang diharapkan? Karena ketika namanya digabung "Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia" saja, kualitas pembelajaran yang ada belum optimal apalagi dipisahkan. Belum lagi soal animo mahasiswa baru, bisa-bisa peminat-nya makin merosot. Harus diakui, selama ini program studi "Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia" masih eksis, sedikit banyaknya sangat dipengrauhi oleh unsur "bahasa" dan unsur "sastra" yang tergabung menjadi satu.
- Apakah perubahan nomenklatur PBI dan PSI ini hanya patut "didiamkan" saja atau memang ada kurikulum yang harus diubah?Atau komposisi dan persebaran  serta bobot mata kuliah yang harus disesuaikan? Entahlah ....
Saya sih setuju-setuju saja bila perubahan nomenklatur PBI dan PSI ini dianggap lumrah. Karena yang penting konten mata pelajarannya, bukan soal nomenklaturnya. Tapi di saat yang sama, bukan berarti pula kita tidak boleh mengkritisikannya kan?
Justru itulah, sikap kritis saya munculkan. Karena perubahan nomenklatur ini terkesan hanya "membenahi" merek atau nama tapi tidak "membenahi" konten atau isi. JADI KITA INGIN ISINYA ATAU BUNGKUSNYA ? Â Â Â
KATANYA, JANGAN MENILAI BUKU DARI SAMPULNYA? TAPI NOMENKLATUR INI, BISA JADI BUNGKUS MALAH MEMBINGUNGKAN ISINYA ...
Memang hidup kadang gak jelas.Â
Orang politik ngomong agama. Orang agama ngomong politik. Orang hukum bicara ekonomi; orang ekonomi bicara hukum. Dan mungkin esok, orang bahasa bergaya sastra; orang sastra bergaya bahasa... Karena sebab nomenklatur.
Jadi, apa yang harus dilakukan dengan perubahan nomenklatur ini?
Sederhana saja buat saya. Tetaplah mengajar dengan baik dan berkualitas. Sambil tetap bertanya dalam hati dan bernyanyi, "mau dibawa ke mana pendidikan kita?" ... #NomenklaturPBI #NomenklaturPSI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H