Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Asesor Kompetensi Dana Pensiun - Mantan Wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku diantaranya JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Orang-orang Lebay di Pusat Kota

17 September 2017   11:34 Diperbarui: 17 September 2017   11:55 1102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalo ada orang denger lagu pop, tapi jogetnya heboh kayak dangdut. Itu lebay.

Lebay itu artinya melebih-lebihkan. Itu bukan kata baku dalam bahasa Indonesia. Lebay itu kata milik anak muda. Kalo di "kitab gaul", lebay itu berarti "terlalu berlebihan", melebih-lebihkan sesuatu dengan tidak sewajarnya. Istilah "lebay" ini muncul sekitar tahun 2006-an. Dan gak tau kenapa? Sekarang ini kok ya, malah makin banyak aja orang-orang lebay; orang-orang yang berlebihan.

Orang-orang lebay.

Cuma keserempet sepeda, bilangnya "keserempet motor". Kata orang lebay, "negara jadi begini gara-gara presidennya". Kayak anak muda, "punya pacar biasa-biasa aja" tapi rasanya "paling keren sedunai" hahaha. Lebay banget. Intinya, orang-orang lebay itu suka membesar-besarkan, suka melebih-lebihkan.

Sekarang ini, banyak anak kecil kalo ngomong kayak orang dewasa. Dan sebaliknya, banyak orang dewasa kalo celoteh kayak anak kecil. Itu semua bolehlah dibilang lebay.

Jujur, sebenarnya saya males nulis hal ini. Takut dibilang lebay. Itu lho soal "Rohingya"

Kemarin baca berita, ada Bapak-Bapak yang terhormat ikutan "Aksi Solidaritas Rohingya". Bapak yang satu bilang, "Bantuan Indonesia ke Rohingya itu pencitraan". Katanya lagi, "Kalau kita tak beres, bagaimana bantu Rohingya?".

Ehhh Bapak yang satu lagi ngomong juga, "Karena itu, lebih bagus kalau diajak main keras, kita masuk surga, kita jihad. Tapi kalau si cebong-cebong itu tidak percaya akhirat, kalau mati, tentu digelandang ke neraka". Buat saya, Bapak-Bapak itu lebay banget sih. Orang-orang lebay di pusat kota, begitulah kira-kira.

Buat saya, soal Rohingya itu sederhana saja.

Maslalahnya terjadi di Myanmar. Yang bikin aksi kekerasan, kezaliman tentaranya. Yang jadi korban warganya. Upaya diplomasi sudah dilakukan. Tekanan dari negara-negara lain udah ada. Bangladesh sebagai negara tetangga pun "nerima" pengungsinya. Bantuan kemanusiaaan yang konkret juga udah dikirim dari Indonesia. Terus mau disuruh ngapain lagi?

Karena saya gak mampu ke sana, ya udah cukup didoakan saja. Tapi kalo saya bujangan, mungkin saya pergi ke sana untuk jihad (itu juga kalo saya berani). Terus kita mau ngappain lagi? Pengen perang? Perang aja sendiri kali.

Udah ahh, males banget sih. Berkedok kepedulian, akhirnya malah bikin kisruh di negeri sendiri. Pengen bantu orang tertindas di negeri orang lain. Tapi cara dan omongannya "menindas" pemimpin dan negerinya sendiri. Lebay banget sih.

Dalam bahasa Indonesia, PEDULI itu artinya mengindahkan; memperhatikan; menghiraukan. Mereka asyik memperkaya diri, mereka tidak PEDULI orang lain yang menderita.Sejauh kita sudah perhatian terhadap suatu masalah, lalu mendoakan atau berbuat jika mampu, sungguh itu sudah cukup. Gak perlu dilebih-lebihkan.

Maaf aja, sebagai orang kampung. Saya mah mendingan berkebun dan menanam pohon. Mendingan ngaji bareng anak-anak yatim. Mendingan sibuk menyiapkan berdirinya "Taman Bacaan Masyarakat Lentera Pustaka". Atau paling minimal, gak buang sampah sembarangan. 

Kenapa? Karena perbuatan itu semua buat saya dapat "menyelamatkan anak bangsa untuk puluhan tahun mendatang setelah saya mati". Masalah buat bangsa sendiri, maslahat buat masyarakat yang dekat dengan saya. Maaf sekali lagi, saya gak mampu berbuat banyak buat saudara-saudara saya di Rohingnya, kejauhan.

Jadi gak usah lebay. Orang-orang lebay.

Silakan berpendapat. Tapi juga jangan lebay. Karena orangLebay itu biasanya "menganggap diriya benar sendiri". Orang lebay itu sulit menerima pendapat orang lain; apalagi "mengakui keberadaan orang lain yang gak disukainya, yang jadi lawannya".

ORANG LEBAY ITU LEBIH BANYAK HIDUP DALAM MIMPINYA. DAN MENOLAK KERAS APA YANG GAK DISUKAINYA.

Orang-orang Lebay.

Cuma soal Rohingya, dunia dianggap udah mau runtuh. Gak sekalian aja minta kiamat.

Peduli silakan, perhatian silakan, bisa bantu syukur. Tapi gak usah lebay juga kali. Elo yang musuhan, kenapa jadi ajak-ajak rakyat untuk musuhan melulu.

GAK USAH LEBAY.

Emang, gampang bikin porak-poranda bangsa ini. Emang gampang kok bermimpi. Emang gampang bikin persatuan itu hilang. Tapi yang susah itu, "mempertahankan apapun yang sudah bangsa ini raih". Karena jika lengah, apapun yang sudah tergenggam pasti bisa terlepas juga.

GAK USAH LEBAY. Biasa-biasa sajalah. Asal udah ikhtiar dan doa, itu sudah cukup.

Gak usah pengen menang sendiri. Karena semua yang ada pada kita, pada saatnya akan berakhir. Dan berhenti seketika bila waktunya tiba.

Ketika nafas terakhir tiba, sebatang jarum pun tak bisa dibawa pergi. Sehelai benang pun tak bisa dimiliki. Lalu, apalagi yang mau disombongkan. APALAGI YANG MAU DIPEREBUTKAN?

Orang-orang lebay itu, terlalu senang berpikir yang jelek-jelek aja. Kurang mau berlapang dada. Apalagi mengalah. Tapi bilangnya, pengen hidup hari ini lebih baik dari hari kemarin.

Udahlah, gak usah lebay.

Lakukan saja yang baik dan terbaik. Selanjutnya, biarkan Tuhan yang melakukannya.

Gak usah lebay ...

Masa denger "lagu pop" jogentnya kayak "lagu dangdut"... ? #Lebay #OrangLebay

Dok.pribadi
Dok.pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun