Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 47 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Peran Bahasa Indonesia dalam Distorsi Bahasa Politik

18 Agustus 2017   22:28 Diperbarui: 19 Agustus 2017   09:49 10933
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengapa bahasa Indonesia penting?

Perjalanan sejarah bangsa Indonesia membuktikan bahwa bahasa Indonesia yang mulanya berasa dari bahasa Melayu telah menjadi bahasa pemersatu di masa penjajahan dulu. Ketika orang-orang di nusantara, di berbagai daerah memiliki keinginan untuk melawan penjajah tapi "gagal" karena bahasa di antara mereka berbeda-beda. 

Maka, sulit untuk menyatukan visi dan misi untuk memerdekakan bangsa. Hingga akhirnya, penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan telah meningkatkan semangat nasionalisme dan cinta tanah air. Indonesia pun merdeka.

Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia telah menginspirasi semangat bangsa Indonesia bahwa bahasa bukan hanya sebagai identitas etnik atau agama semata. 

Lebih dari itu, keberadaan bahasa Indonesia secara politis telah memacu semangat kolektif masyarakat di masa penjajahan untuk menjadi identitas dan kekuatan yang lebih luas, yaitu menjadi bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia, suka tidak suka, adalah momentum awal untuk membahasakan semangat nasionalisme.

Peran penting bahasa Indonesia dalam tataran politik semakin ditegaskan oleh Ki Hajar Dewantara dalam Kongres Bahasa Indonesia I di Solo pada tahun 1938 bahwa yang dinamakan 'Bahasa Indonesia' yaitu bahasa Melayu yang sungguhpun pokoknya berasal dari 'Melayu Riau' akan tetapi yang sudah ditambah, diubah, atau dikurangi menurut keperluan zaman dan alam baru, hingga bahasa itu lalu mudah dipakai oleh rakyat seluruh Indonesia; pembaruan bahasa Melayu hingga menjadi bahasa Indonesia itu harus dilakukan oleh kaum ahli yang beralam baru, ialah alam kebangsaan Indonesia, bahasa Indonesia memang berasal dari bahasa Melayu.

Maka pantas, para pelopor kemerdekaan Indonesia telah memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Secara politik dan diplomatik, keberadaan bahasa Indonesia memainkan peran yang sangat besar dalam proses integrasi bangsa Indonesia yang dimulai sejak abad ke-16 sampai dengan abad ke-19 dan diteruskan pada abad ke-20 melalui gerakan kebangsaan hingga terbentuknya negara kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Bahasa Indoesia, sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi negara telah memainkan peran penting sampai sekarang.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Namun di sisi lain, hari-hari ini, realitas bahasa politik dan diplomatik di Indonesia terbilang makin "cantik" untuk dicermati. Bahasa di bidang politik dan diplomatik telah berkembang menjadi ruang yang paling bebas dan terbuka. Bahasa politik menjadi alat untuk meraih kekuasaan. 

Memang, kehidupan manusia di manapun tidak akan pernah lepas dari politik. Alasan paling sederhana, karena bahasa menjadi satu-satunya alat paling murah dan efektif untuk memengaruhi massa untuk meraih kekuasaan, untuk melangsungkan nafsu politik.

Eksistensi bahasa dalam panggung politik dan diplomatik adalah realitas. Tidak dapat dipungkiri. Maka sangat wajar, dunia politik dan para politisi "menunggangi" bahasa untuk meraih simpati, meraih popularitas hingga membangun citra di mata masyarakat. Ada politisi yang sok santun dalam berbahasa, ada yang polos lagi lugas, bahkan ada yang sarkasme dan meracik bahasa dalam ujaran kebencian. 

Bahasa politik makin "ngeri-ngeri sedap", meminjam istilah politisi Alm. Sutan Bhatoegana. Walau harus diakui, belakangan bahasa di panggung politik makin rancu, makin penuh penyangkalan terhadap realitas. Bahasa politik bergeser menjadi politik bahasa. Itulah realitas sekaligus kualitas berbahasa di panggung politik.

Politik sebagai arena peperangan untuk meraih kekuasaan memang tidak dapat dipisahkan dari bahasa. Bahasa sangat mungkin mewakili kasta politik. Karena bahasa pula, politik dapat menjadi nista. Bahasa di panggung politik, sungguh berada di antara kasta dan nista (Yunus, 2016). Sebagai contoh, ketika dinamika pilkda serentak di 101 daerah pada Februari 2017 lalu, tiba-tiba bahasa muncul sebagai dimensi yang pantas diperdebatkan. 

Bahasa yang menjadi alat kampanye, bahasa yang menimbulkan multitafsir. Bahasa, sungguh menjadi "kendaraan" politik yang paling murah untuk dieksploitasi. Bahkan bahasa, seringkali terdistorsi di ranah politik dan diplomatik.

Bahasa politik kini berdiri di antara kasta dan nista. Bahasa sebagai simbol kasta politisi. Bahasa juga menjadi alat menistakan politisi itu sendiri. Karena bahasa, sungguh menjadi cerminan politisi dan politik itu sendiri. "Sifat-sifat masyarakat terutama dapat dipelajari dari bahasanya, yang memang menyatakan sesuatu yang hidup dalam masyarakat tersebut" (Kailani, 2001).

Politik Cenderung Memilih Bahasa yang Berbeda

Kini, bahasa politik jadi tidak asyik diikuti dan dinikmati. Cara politisi berbahasa hanya membuat wacana baru dan mengundang perdebatan. Makin menjauh dari nilai rasa bahasa dan hanya permainan kata-kata tanpa makna. Bahasa politik sama sekali tidak memberikan keindahan dan metafora yang nyaman untuk dirasakan. Karena bahasa politik, hanya menjadi simbol kasta dan alat menistakan.

Bahasa di panggung politik adalah kepentingan kasta, kepentingan kekuasaan. Bahasa yang dipenuhi oleh kata-kata kamuflase untuk meraih simpati demi kekuasaan, penuh janji-jani kosong. Bahasa untuk kasta, melekat pada politisi yang kemarin bukan siapa-siapa lalu bernafsu untuk menjadi siapa-siapa. Bahasa yang kemarin apa adanya, kini menjadi ada apanya. Bahasa politik untuk kepentingan kasta.

Bahasa di panggung politik seringkali menjadi alat penistaan, bahkan menistakan. Bahasa nista yang tidak lagi berdasar pada argumentasi logis dan realistis. Bahasa yang terlalu mudah kehabisan kosa kata lalu berganti ujaran kebencian, caci-maki, sumpah serapah dan hujat-menghujat. Bahasa yang kemarin biasa menjadi bahasa yang nista. Bahasa politik untuk menistakan satu sama lainnya.

Sadar akan dinamika bahasa di bidang politik, semua pemakai bahasa Indonesia termasuk para politisi harus bertanggung jawab untuk mengembalikan slogan "bahasa menunjukkan bangsa". Bahasa yang penuh kesantunan hakiki, bermakna realistis, dan menjadi alat kebaikan. Bahasa Indonesia yang baik dan benar, bukan bahasa yang diremehkan tapi merasa nasionalis.

Timbulnya masalah bahasa di panggung politik, sungguh menjadi bukti ketidakpedulian kita terhadap bahasa Indonesia itu sendiri. Bahasa yang gagal menjadi "tuan rumah di negerinya sendiri". Maka wajar, kita lebih memilih bahasa yang berbeda. Bukan memilih bahasa yang mempersatukan. Hari ini, ada kecenderungan politisi dan masyarakat yang lebih memilih "bahasa yang berbeda".

Kalau hari ini dan mungkin esok, kita masih bersama dalam suatu bangsa. Masih bisa berinteraksi dan berkomunikasi dengan penuh pengertian dan kesejukan. Bisa jadi, itu semua karena kita menggunakan bahasa yang sama, yaitu bahasa Indonesia. Sungguh, bahasa politik bukanlah politik bahasa. Kita hanya butuh sikap untuk menghormati dan memelihara bahasa kita sendiri, bahasa Indonesia.

Di dunia politik, bahasa merupakan kekuasaan (language is power) dan sangat berperan dalam mencapai tujuan nasional maupun internasional suatu bangsa. Bahasa membentuk suatu ikatan sosial melalui interaksi dan proses saling  mempengaruhi pemakainya (Kurniawan, 2003). Disebutkan pula bahwa penyebaran bahasa (di dunia) menunjukkan bahwa bangsa tersebut telah menguasai (dunia). 

Keuntungan inilah yang antara lain dipetik Spanyol karena 18 dari 21 negara bekas jajahannya di Amerika Selatan menjadikan bahasa Spanyol sebagai bahasa resmi. Kesamaan bahasa itu membuat Spanyol dapat menancapkan pengaruh politik, perdagangan, dan kultural dengan baik meski negara-negara Latin tersebut telah merdeka dan berdaulat. "Keuntungan" serupa tidak dapat dinikmati Belanda di Indonesia karena bangsa Indonesia menggunakan bahasa baru, yang berasal dari bahasa Melayu.

Pemilihan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan pada 28 Oktober 1928, yang hampir memasuki 9 dasawarsa, harus diakui pula awalnya berbau keputusan politik. Namun dalam perkembangannya, bahasa Indonesia pun menjadi ekspresi kultural dan politis. Kongres Bahasa Indonesia I di Solo tahun 1938, memberi isyarat adanya gejala politik dan budaya dalam bahasa Indonesia. 

Di satu sisi, kepada pemerintah kolonial, kongres bahasa itu sebagai gerakan politik. Di sisi lain, kepada masyarakat non-Melayu di nusantara, kongres bahasa dijadikan gerakan kebudayaan. Hingga akhirnya, UUD 1945 mencantumkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, menjadi sinyal adanya gerakan kultural bahasa. Dari sinilah, sifat arbitrer bahasa Indonesia mulai menyusup ke ruang kultur keindonesiaan, kultur kebhinekaan.

Hiruk-pikuk bahasa politik yang menghantui bangsa Indonesia akhir-akhir ini, yang cenderung memilih "bahasa yang berbeda", bahasa yang sarat muatan ujaran kebencian patut diantisipasi dengan menghadirkan kembali peran penting bahasa Indonesia sebagai bahasa yang mampu merevitalisasi jati diri dan identitas secara politik dan diplomatik ke dalam sikap "nasionalisme bahasa" yang mengedepankan bahasa sebagai alat pemersatu bangsa, baik di Indonesia maupun di kawasan Asia Tenggara.

Bahasa Indonesia yang kini mulai "ditinggalkan pemakainya" harus mendapat ruang yang lebih terbuka untuk memainkan peran bahasa sebagai alat politik dan diplomatik. Bahkan alat pemersatu di kawasan Asia Tenggara. Karena dengan begitu, bahasa akan dapat menjalankan fungsinya sebagai stabilisator politik, di samping sosial dan budaya. 

Keberadaan bahasa, di bangsa manapun, adalah untuk membangkitkan kesadaran nasional dan kesadaran politik semua warga negara untuk memelihara kedaulatan bangsanya, kedaulatan negara. Di sinilah, upaya penguatan kembali bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa Indonesia bahkan kawasan Asia Tenggara patut dikedepankan.

Peran Bahasa Indonesia dalam Distorsi Bahasa Politik

Bahasa politik sangat berpotensi menimbulkan distorsi, penyimpangan. Distorsi bahasa politik bisa jadi wujud ketidaksetiaan, pelanggaran atau pengkhianatan dunia politik terhadap bahasa. Dalam konteks politik, bahasa digunakan dengan sangat dinamis oleh para politisi, terutama saat mereka berinteraksi dengan para konstituen. 

Motifnya sederhana, untuk tercapainya tujuan politik yaitu kekuasaan. Dinamika bahasa dalam konteks politik tersebut tidak terlepas dari perilaku berbahasa para politisi itu sendiri yang cenderung tidak terkontrol karena sikap alpa terhadap kaidah berbahasa. Tendensi berbahasa inilah yang dapat menyebabkan munculnya perilaku berbahasa yang liar dan bebas.

Gejala distorsi bahasa politik hari-hari ini dapat dilihat dari semakin menguatnya prinsip "feminin-maskulin" dalam berbahasa di dunia politik. Bahasa politik hari ini seolah-olah hanya berjibaku dalam pilihan "hitam dan putih", reaksi dan aksi semata. 

Sepertinya tidak ada lagi alternatif pilihan kata-kata dalam berbahasa yang lebih mencerdaskan, lebih menggairahkan. Sebut saja beberapa contoh istilah: Pancasila vs antiPancasila, nasionalisme vs antinasionalisme, radikal vs antiradikal,sosial vs antisosial, dan sebagainya.

Jika dilihat dari perspektif lebih sempit, distorsi bahasa politik dapat dipengaruhi oleh 1) bahasa persuasif dan 2) relasi budaya. Bahasa persuasif dan relasi budaya menyiratkan adanya motif berbahasa para politisi dalam membujuk atau memengaruhi kepercayaan, sikap, dan perilaku masyarakat yang berimplikasi terhadap relasi budayanya. 

Bahasa persuasif (Keraf, 2004)  bertumpu pada perilaku berbahasa untuk membujuk lawan bicaranya dan relasi budaya (Parekh, 1997) menekankan pada kecenderungan dimensi interaksi sosial dan keragaman yang menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut.

Sebagai contoh, dalam studi yang penulis lakukan saat berlangsungnya Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Dari kajian penulis terhadap 127 teks persuasif para paslon yang tersebar di 18 media cetak dan online, dalam tiga bulan terakhir (Nov 2016 -- Jan 2017) dapat diketahui teknik bahasa persuasif dan tipe relasi budaya (Koran Jakarta, 17 April 2017) yang diperagakan para paslon selama kampanye adalah sebagai berikut:

Dari aspek bahasa persuasif, seluruh paslon Gubernur DKI Jakarta pada dasarnya memiliki kecenderungan dan lebih dominan menggunakan bahasa yang bersifat sugesti (mengumbar janji) 46%, sedangkan yang bersifat rasionalisasi (sesuai logika kebenaran) 27%, dan bersifat identifikasi (mempromosikan diri) 27%. Hal ini berarti, bahasa persuasif sebagai  simbol bahasa politik dalam membujuk pemilih lebih menekankan pilihan kata-kata yang bertumpu mengumbar janji dan harapan tanpa dasar kepercayaan yang logis.

Dari aspek relasi budaya, seluruh paslon Gubernur DKI Jakarta cenderung memiliki relasi budaya yang dominan bertipe kritikal (cenderung berbeda) 38%, sedangkan tipe akomodatif (akomodasi kepentingan) 24%, tipe otonomis 18% (kesetaraan/kolektivitas), tipe isolasionis (individualis) 13%, dan tipe kosmopolitan (kultur bebas) 7%. 

Hal ini dapat disimpulkan bahwa tipe relasi budaya seluruh paslon lebih mengacu pada kultur interaksi yang distingtif, atau bersifat membedakan. Budaya kritikal lebih menonjolkan keunggulan atau kelebihan paslon untuk meraih simpati pemilih. Patut dicermati, relasi budaya tipe akomodatif pun tergolong besar sebagai cerminan komitmen para paslon untuk mengakomodir kepentingan kelompok tertentu.

Sadar atau tidak sadar, bahasa politik hari ini telah menimbulkan distorsi, menimbulkan penyimpangan yang dapat berdampak terhadap rasa persatuan dan kesatuan sebagai bangsa. Bahasa politik yang cenderung destruktif dan kontroversial patut diredam. Bahasa politik harus berani berubah dan memilih orientasi berbahasa yang lebih bermartabat, penuh kesantunan, dan mencerdaskan.

Berangkat dari realitas tersebut, sekali lagi, bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa kini berhadapan dengan "tantangan baru" untuk tampil ke muka dan berjibaku untuk membenahi bahasa politik dan diplomatik. 

Dengan pengalaman sejarah yang dimiliki sebagai bahasa lingua franca di Indonesia dan di kawasan Asia Tenggara,bahasaIndonesia harusmempunyai"kesanggupan" untukhadir kembali sebagai bahasa politik dan diplomatik yang mampu mempersatukan seluruh elemen masyarakat. Inilah peran terpenting bahasa Indonesia dalam distorsi bahasa politik yang berkembang belakangan ini.

Bahasa Indonesiasebagai bahasa bukanlahsistem linguistik, bahkan bukan alat komunikasi semata. Bahasa Indonesia mencakup seluruh tatanan kehidupan manusia, termasuk tatanan politik dan diplomatik. 

Bahasa Indonesia harus mampu menjadi alat pembentuk kepribadian dan karakter dunia politik dan diplomatik, termasuk para politisi dan partai politik yang lebih bermartabat, yang lebih menghargai perbedaan sambil tetap memelihara keberagaman. Distorsi bahasa politik akan bisa diredam dengan menghadirkan kembali sistem nilai-nilai yang dimiliki bahasa Indonesia sebagai bahasa lingua franca.

 Penutup; Bahasa Indonesia sebagai Alat Pemersatu Kawasan Asia Tenggara

Sejarah telah membuktikan, bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu pernah digunakan hampir di semua pelabuhan-pelabuhan di Kepulauan Nusantara. Sejak masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya hingga ke daerah-daerah sebelah timur Nusantara. Kini sudah sepantasnya bahasa Indonesia mulai menapak menjadi bahasa pemersatu kawasan Asia Tenggara. 

Di sisi lain, sudah saatnya pula negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN untuk menjalin hubungan baik dan interaksi yang tidak hanya mengedepankan pendekatan politik. ASEAN perlu memulai dan menekankan politik dan diplomatik yang berbasis pendekatan budaya dan bahasa.

Bahasa Indonesia, sungguh dapat mengambil peran sebagai alat pemersatu di kawasan Asia Tenggara. Alasannya, karena bahasa Indonesia dikenal memiliki sistem bahasa yang sederhana, mudah dipelajari karena tidak mengenal kasta dalam berbahasa. Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang dinamis, mampu  menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan maupun penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.

Di kawasan ASEAN, bahasa Indonesia atau bahasa Melayu setidaknya telah menjadi bahasa resmi di 4 negara yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam. Maka kini, sudah saatnya pula ASEAN memulai iktikad baik dan merealisasikan  bahasa Indonesia atau bahasa Melayu sebagai pendamping bahasa Inggris. Inilah peluang dan tantangan kawasan Asia Tenggara (ASEAN), mampu atau tidak untuk mempunyai "bahasa kedua" yang mempersatukan negara-negara di Asia Tenggara, setelah bahasa Inggris.

Realitas distorsi bahasa politik dan diplomatik pun sangat layak mendapatkan perhatian lebih dari semua pihak; pemerintah, politisi, akademisi hingga masyarakat pengguna bahasa. Upaya terobosan untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu kawasan Asia Tenggara bukan hanya penting tapi harus diwujudkan. 

Untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa politik dan diplomatik di kawasan Asia Tenggara sangat membutuhkan komitmen dan gerakan yang kolektif di antara negara-negara ASEAN untuk menciptakan tatanan berbahasa yang lebih bermartabat, penuh kesantunan, dan mencerdaskan sebagaimana nilai-nilai yang dimiliki bahasa Indonesia selama ini.

Hegemoni politik dan diplomatik yang penuh dinamika pada dasarnya tidak boleh merusak tatanan berbahasa yang ada di masyarakat.         Bahasa Indonesia harus hadir kembali untuk mengingatkan pentingnya peran bahasa sebagai jati diri pemakainya dan bangsanya, bahasa yang santun dan bermartabat bukan sebagai bahasa yang berisi ujaran kebencian maupun hujatan.

Dunia politik dan diplomatik yang sering menjadikan bahasa sebagai alat untuk meraih kekuasaan harus terhindar dari perilaku "pengkhianatan terhadap kata-kata" yang dapat memicu sentimen berbahasa yang negatif. Dunia politik dan diplomatik sangat boleh "memilih bahasa yang berbeda" pada tataran subtantif visi dan misi bukan "berbeda" untuk pencitraan. 

Bahasa hadir bukan untuk "mempertahankan isu-isu negatif" dalam dunia politik dan diplomatik atau sebagai alat propanda untuk meraih dukungan dan kekuasaan politik semata. Tapi bahasa adalah cermin pemikiran dan perilaku; cerminan yang diucapkan dan dipahami banyak orang.

Maka, menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa politik dan diplomatik di Asia Tenggara bukanlah angan-angan. ASEAN hanyabutuh komitmen untuk membangun "bahasa kebersamaan" antarwarga di kawasan Asia Tenggara dalam bingkai kemelayuan yang kental dengan kata-kata dan ungkapan yang santun dan bermartabat. Karena bahasa Indonesia atau bahasa Melayu adalah simbol nasionalisme bersama, bahkan nasionalisme di kawasan Asia Tenggara ...

 * Disajikan dalam Simposium Internasional "Upaya Peningkatan Bahasa Indonesia Sebagai Alat Pemersatu di Kawasan Asia Tenggara"", 18-19 Agustus 2017

simpo1-599706f156943b1d7b4e1ef3.jpg
simpo1-599706f156943b1d7b4e1ef3.jpg

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun