Keuntungan inilah yang antara lain dipetik Spanyol karena 18 dari 21 negara bekas jajahannya di Amerika Selatan menjadikan bahasa Spanyol sebagai bahasa resmi. Kesamaan bahasa itu membuat Spanyol dapat menancapkan pengaruh politik, perdagangan, dan kultural dengan baik meski negara-negara Latin tersebut telah merdeka dan berdaulat. "Keuntungan" serupa tidak dapat dinikmati Belanda di Indonesia karena bangsa Indonesia menggunakan bahasa baru, yang berasal dari bahasa Melayu.
Pemilihan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan pada 28 Oktober 1928, yang hampir memasuki 9 dasawarsa, harus diakui pula awalnya berbau keputusan politik. Namun dalam perkembangannya, bahasa Indonesia pun menjadi ekspresi kultural dan politis. Kongres Bahasa Indonesia I di Solo tahun 1938, memberi isyarat adanya gejala politik dan budaya dalam bahasa Indonesia.Â
Di satu sisi, kepada pemerintah kolonial, kongres bahasa itu sebagai gerakan politik. Di sisi lain, kepada masyarakat non-Melayu di nusantara, kongres bahasa dijadikan gerakan kebudayaan. Hingga akhirnya, UUD 1945 mencantumkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, menjadi sinyal adanya gerakan kultural bahasa. Dari sinilah, sifat arbitrer bahasa Indonesia mulai menyusup ke ruang kultur keindonesiaan, kultur kebhinekaan.
Hiruk-pikuk bahasa politik yang menghantui bangsa Indonesia akhir-akhir ini, yang cenderung memilih "bahasa yang berbeda", bahasa yang sarat muatan ujaran kebencian patut diantisipasi dengan menghadirkan kembali peran penting bahasa Indonesia sebagai bahasa yang mampu merevitalisasi jati diri dan identitas secara politik dan diplomatik ke dalam sikap "nasionalisme bahasa" yang mengedepankan bahasa sebagai alat pemersatu bangsa, baik di Indonesia maupun di kawasan Asia Tenggara.
Bahasa Indonesia yang kini mulai "ditinggalkan pemakainya" harus mendapat ruang yang lebih terbuka untuk memainkan peran bahasa sebagai alat politik dan diplomatik. Bahkan alat pemersatu di kawasan Asia Tenggara. Karena dengan begitu, bahasa akan dapat menjalankan fungsinya sebagai stabilisator politik, di samping sosial dan budaya.Â
Keberadaan bahasa, di bangsa manapun, adalah untuk membangkitkan kesadaran nasional dan kesadaran politik semua warga negara untuk memelihara kedaulatan bangsanya, kedaulatan negara. Di sinilah, upaya penguatan kembali bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa Indonesia bahkan kawasan Asia Tenggara patut dikedepankan.
Peran Bahasa Indonesia dalam Distorsi Bahasa Politik
Bahasa politik sangat berpotensi menimbulkan distorsi, penyimpangan. Distorsi bahasa politik bisa jadi wujud ketidaksetiaan, pelanggaran atau pengkhianatan dunia politik terhadap bahasa. Dalam konteks politik, bahasa digunakan dengan sangat dinamis oleh para politisi, terutama saat mereka berinteraksi dengan para konstituen.Â
Motifnya sederhana, untuk tercapainya tujuan politik yaitu kekuasaan. Dinamika bahasa dalam konteks politik tersebut tidak terlepas dari perilaku berbahasa para politisi itu sendiri yang cenderung tidak terkontrol karena sikap alpa terhadap kaidah berbahasa. Tendensi berbahasa inilah yang dapat menyebabkan munculnya perilaku berbahasa yang liar dan bebas.
Gejala distorsi bahasa politik hari-hari ini dapat dilihat dari semakin menguatnya prinsip "feminin-maskulin" dalam berbahasa di dunia politik. Bahasa politik hari ini seolah-olah hanya berjibaku dalam pilihan "hitam dan putih", reaksi dan aksi semata.Â
Sepertinya tidak ada lagi alternatif pilihan kata-kata dalam berbahasa yang lebih mencerdaskan, lebih menggairahkan. Sebut saja beberapa contoh istilah: Pancasila vs antiPancasila, nasionalisme vs antinasionalisme, radikal vs antiradikal,sosial vs antisosial, dan sebagainya.