Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Asesor Kompetensi Dana Pensiun - Mantan Wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku diantaranya JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Buruh yang Sering Lupa; Renungan Hari Buruh Internasional

1 Mei 2017   09:09 Diperbarui: 1 Mei 2017   09:33 699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gak banyak orang kerja senang dipanggil buruh.

Mungkin karena buruh dianggap rendahan. Buruh selalu identik dengan demo, mogok kerja, menuntut hak, upah kecil dan yang jelek-jelek lainnya. Apa emang begitu?

Buruh sering lupa. Buruh yang sering lupa.

Per definisi, buruh itu “orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah”. Mereka yang bekerja untuk memperoleh upah atawa gaji, tetap saja buruh.  Saudaranya buruh itu dipanggil, karyawan, pekerja, atawa pegawai. Jadi buruh itu syaratnya sederhana; 1) bekerja pengen dapat upah/gaji dan 2) punya majikan; ada yang majikannya orang ada yang majikannya perusahaan. Di luar itu bukan buruh.

Cuma buruh sering lupa.

Hidupnya, kadang, lebih banyak mengeluh. Tapi si buruh juga gak mau dibilang gak bersyukur. Wajar, buruh sering bingung. Dibilang tukang ngeluh gak mau, dibilang gak bersyukur apalagi. Tapi dalam hatinya bilang “kenapa sih hidup gue, gini-gini aja?”. Atawa bilang, “Enak banget sih tuh orang, hidupnya kok enak banget...”

Buruh sering lupa. Dia gak bakal bisa menikmati hidupnya, gak bisa merasakan anugerah Allah. Karena hari-hari hidupnya, terlalu sering ngelihat ke atas. Jarang sekali mau ngelihat ke bawah. Malah kadang, menoleh sebentar saja ogah banget. Maunya ngelihat orang-orang yang hidupnya lebih wah dari si buruh. Doyan banget ngebandingn hidupnya sama hidup orang lain. Gak tau kenapa, sering banget buruh lupa soal ini.

Apalagi buruh di Indonesia. Banyak yang sering lupa.

Terlalu cepat berasa lelah, ngerasa capek gitu. Kerja seharian lelah. Ngerjain ini ngerjain itu, ngeluh capek banget. Pantes sering suntuk, gampang tersungut. Gak semangat. Males. Tapi gilirann ngomongin pilkada, ngomongin idolanya busyet deh semangat banget. Kalo udah ngomongin politik, kayak udah pernah mimpin jutaan manusia. Kalo udah ngebela idolanya luar biasa keren. Apalagi kalo udah marah, kayak orang yang ngelahirin orang yang mau dimarahin. Keren banget tuh buruh …

Tapi hebatnya. Buruh juga sering lupa.

Menurut survey 2016 lalu, buruh di Indonesia itu punya “tingkat kebahagiaan bekerja” nomor satu di Asia. Mereka adalah buruh yang paling optimis dalam melihat prospek kerja dalam kurun waktu 6 bulan ke depan. Alasan utamanya sederhana, karena tempat kerjanya mudah diakses. Ohhh itu alasannya ….

Bahkan survey ini bilang, ada 2 pilihan populer tentang cara mereka meningkatkan kebahagiaan kerja? 1) pengen berhenti kerja dan coba pekerjaan baru dan 2) minta gaji naik. Bisa dimaklumi sih dan sangat klasik, kan biar bisa nongkrong dan pergi ke tempat “gaya hidup” yang mentereng.

Buruh sering lupa.

Pekerjaan itu bukan hukuman. Melainkan anugerah dan kekuatan agar mereka lebih berdaya dan bermanfaat buat orang-orang di dekatnya. Itu saja udah cukup buat buruh.

Maka siapapun, selagi jadi buruh. Harus sadar dan ingat. Gak boleh lebih besar pasak daripada tiang. Gak boleh yang dikeluarin lebih besar daripada yang diperolehnya. Gak boleh keluhan lebih besar dari syukur. Gampang kan …

Buruh yang jadi diri sendiri, pastinya gak akan kalah selamanya dari kehidupan buruh yang lain. Karena hidup seorang buruh itu bukan pertandingan. Lalu buat apa, menjadikan mereka musuh atawa lawan yang harus dikalahkan?

Buruh, buruh …. Kamu sering lupa.

Hidup itu cuma perjalanan. Dan hidup kamu itu bukan bergantung pada pekerjaan. Tapi bergantunglah kepada Allah. Karena dalam “perjalanan hidup”, kamu gak akan pernah mencapai titik selalu lebih baik daripada orang lain dalam segala hal. Mengapa kamu menginginkannya? Kamu sering lupa itu …

Lagi-lagi buruh sering lupa.

Semua yang diberikan Allah kepada kamu itu sudah sesuai, sudah cukup. Asalkan kamu tidak membandingkan apapun dalam hidup kamu dengan orang lain. Karena mereka bukan siapa-siapa, bukan apa-apa dalam hidupmu.

Buruh, kembalilah ke dalam “perjalanan” kamu. Sambil tetap menginggat, siapa kamu dan hendak ke mana kamu berjalan... Agar kamu tidak “terperangkap” terlalu jauh ke dalam kehidupan semu.  

Salam dari seorang buruh di Gunung Salak #SelamatHariBuruh

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun