Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 49 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pikiran Lumpuh dan Pepatah Buat Simpatisan Pilkada

16 April 2017   10:21 Diperbarui: 16 April 2017   19:00 779
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gak tau kenapa? Si Kuple itu bangga banget jadi orang Indonesia.

Bukan karena negerinya indah. Atau masyarakatnya majemuk. Tapi karena bangsa ini dibangun, dididik sama “nenek moyang” yang kaya akan “pepatah atawa peribahasa”. Pepatah yang isinya nasihat atau ajaran dari orang tua-tua. Bangsa yang punya banyak pepatah, peribahasa, perumpamaan, ibarat, atawa tamsil. Lebih dari itu, bangsa ini juga punya banyak cerita takhayul, dongeng atawa khayalan.

Pepatah, peribahasa. Takhayul, dongeng. Semuanya baik-baik saja. Karena buat ngingetin, buat nasihat agar bisa mawas diri, agar gak kebablasan. Dalam hal apapun, soal apapun. “Terima kasih ya nenek moyang, udah kasih pelajaran yang penuh hikmah buat bangsa ini” begitu batin Si Kuple.

Zaman sekolah dulu, emang paling susah ngapalin pepatah atawa peribahasa. Karena kata-katanya “meliuk-liuk” terlalu indah sampe gak bisa dimengerti. Tapi kalo udah baca artinya, semua orang yang sekolah pasti mengangguk; tanda setuju. Itulah hebatnya pepatah, kerennnya peribahasa. Emang ciamikk bangsanya Si Kuple.

Ada pepatah begini “belum berkuku hendak mencubit”

Kalo arti harfiah-nya, “belum berkuasa tetapi sudah mencari - cari kesalahan orang”. Tapi kalo diterjemahin bebas, terserah yang punya pikiran aja. Terserah otak masing-masing. Boleh jugsa sih diartikan, “belum apa-apa saja sudah pengen melukai”. Apalagi kalo sudah jadi apa-apa ya?

Cuma sayang aja. Sekarang banyak orang udah gak mau baca pepatah, gak mau menyimak peribahasa. Katanya zaman udah maju, katanya udah era digital. Pantas, banyak orang yang pikirannya pada lumpuh.

Pikiran lumpuh.

Pikiran yang mendambakan hidup tenang dan harmoni. Tapi dilakoni dengan cara menebar kebencian, saling mengumbar aib, menghakimi satu sama lain, menghujat lalu memvonis orang lain.

Pikiran lumpuh yang pengen hidupnya lebih baik di masa depan. Tapi tidak mampu melepaskan diri dari pikiran keliru. Tekun dan rajin dalam memperjuangkan pikiran yang gak sepenuhnya benar.

Sungguh, pikiran lumpuh emang jadi “tempat yang paling nyaman” untuk berbaringnya ketakutan, keraguan, kesalahan, kebencian hingga kepercayaan yang mendekati takhayul. Mereka “tidur bareng” di satu pembaringan …. Pikiran lumpuh.

Pikiran lumpuh. Kenapa gak mungkin ?

Sangat mungkin bahkan patut dimaklumi. Karena kodrat manusia itu hidupnya cuma di atas 2 azas, yaitu naluri dan akal.

Sebab naluri, manusia akan berjuang mati-matian untuk merebut apa yang dikehendaki orang lain. Mereka bergerak karena naluri demi nafsu, selera, keinginan, dan kepentingan pribadinya.

Sebab akal, tentu bukan untuk menentang naluri. Tapi memberi kekuatan mengatur cara-cara yang bisa ditempuh agar nafsu dan kepentingan pribadinya berlangsung mulus. Mereka bergerak karena akal mengajarkan untuk menghindar dari kekalahan, dari penghancuran yang tidak wajar.

Apakah itu baik? Gak tau, baik tidaknya. Karena “kebaikan” di mata mereka HANYA objek nafsu dan selera semata; dan yang terpenting kepentingan mereka terpenuhi dan terhindar dari kematian yang mengerikan.

Ketika naluri dan akal berpadu, bersinergi. Di situlah manusia gak akan pernah istirahat dari kecemasan yang dia bangun sendiri. Menjadikan mereka selalu gak puas, dan ingin menang sendiri. Naluri dan akal kalo udah ngumpul, seremnya luar biasa. Mereka akan berbohong dan saling menipu satu sama lainnya. Itulah inti hidup di atas “keinginan yang gak pernah berhenti akan kekuasaan dan kekuasaan” (restless desire of power after power).

Maka wajar buat siapapun. Ketika nafsu berkuasa lahir, maka setiap orang selalu melihat orang lain sebagai ancaman, sebagai serigala yang siap memangsa dirinya (homo homini lupus).

Duhh, maaf nih. Kenapa Si Kuple jadi ngelantur begini.

Kembali ke pepatah, peribahasa aja deh. Dulu nenek moyang kita, dibesarkan oleh banyak pepatah. Agar hidupnya hati-hati, ada wejangan yang dijadikan pegangan. Kalo sekarang, kita hidup di era digital, era yang serba instan. Era di mana tanpa belajar pun semua orang bisa dan boleh “berceramah” walau belum tentu dilakonin. Era “memberi pelajaran” tanpa perlu “mempelajarinya apalagi melakoninya”.  

Kadang, kita masih butuh pepatah-pepatah itu. Biar eling, biar mawas diri.

- Awak yang tidak pandai menari dikatakan lantai yang terjungkat.

- Gajah bertengger di pelupuk mata tiada tampak, kuman di seberang lautan tampak.

- Bagai balam dengan ketitiran

Kalo diartiin semuanya, kira-kira begini. “Kita gak tau apa-apa, tapi yang disalahin orang lain terus. Maka wajar, kesalahan orang yang sedikit tampak, tetapi kesalahan sendiri yang sangat besar, tiada kelihatan. Akhirnya, selalu berselisih hingga gak mampu lagi bersatu-padu.”

Sungguh, gak perlu ada kecemasan bahkan kekhawatiran sedikitpun atas apa yang dipikirkan orang lain. Karena mereka sedang dalam keadaan tidak mengerjakan apapun; atau setidaknya lagi cukup galau.

Pepatah, kadang mampu mengobati “pikiran lumpuh”. Pepatah kadang harus tetap ada di tengah antara naluri dan akal manusia.

Karena sekarang, sama sekali gak cukup punya pikiran yang bagus kalo gak mampu menggunakannya dengan baik.

Itu saja, pikir Si kuple sambil ngeluncur …. Ciamikk

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun