Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 47 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Bahasa di Panggung Politik, Antara Kasta dan Nista

26 November 2016   23:58 Diperbarui: 27 November 2016   17:10 1614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Retirement.com

Bahasa di panggung politik adalah penistaan, menistakan. Bahasa nista yang tidak lagi berdasar pada argumentasi logis dan realistis. Bahasa yang terlalu mudah kehabisan kosa kata lalu berganti caci-maki, sumpah serapah dan hujat-menghujat. Bahasa yang kemarin biasa menjadi Bahasa yang nista. Bahasa politik untuk menistakan satu sama lainnya.

Sadar bahwa bahasa di panggung politik antara kasta dan nista. Maka kini, semua pemakai Bahasa Indonesia termasuk para politisi harus bertanggung jawab untuk mengembalikan slogan“bahasa menunjukkan bangsa”. Bahasa yang penuh kesantunan hakiki, bermakna realistis, dan menjadi alat kebaikan. Bahasa Indonesia yang baik dan benar, bukan bahasa yang diremehkan tapi merasa nasionalis.

Timbulnya masalah bahasa di panggung politik, sungguh menjadi bukti ketidakpedulian kita terhadap Bahasa Indonesia itu sendiri, Bahasa yang gagal menjadi “tuan rumah di negerinya sendiri”.  Maka wajar, kita lebih memilih bahasa yang berbeda. Bukan memilih bahasa yang mempersatukan.

Kalau hari ini dan mungkin esok, kita masih bersama dalam suatu bangsa. Masih bisa berinteraksi dan berkomunikasi dengan penuh pengertian dan kesejukan. Bisa jadi, itu semua karena kita menggunakan bahasa yang sama, yaitu Bahasa Indonesia.

Sungguh, bahasa politik bukanlah politik bahasa. Kita hanya butuh sikap untuk menghormati dan tetap memelihara Bahasa kita sendiri, Bahasa Indonesia. #AkuCintaBahasaIndonesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun