“Berarti kita juga harus melatih malu kepada sesama ya Mas?” ujar Surti.
“Tepat sekali Bu. Rasa malu pada sesama harus ada. Harus berani malu. Dulu,kita diajarkan, MALU itu diekspresikan dengan menutupi sebagian wajah. Jika perlu hingga menangis. Kita sadar bahwa perbuatan kita salah. Bukan seperti sekarang, udah salah masih gak malu. Ditambah bicaranya pun dengan gaya congkak” terang Tono penuh kesal.
Seperti orang yang berpuasa. Mereka ikhlas menahan lapar dan haus di siang hari. Tapi ketika waktu berbuka tiba, mereka makan dan minus penuh dengan nafsu. Jika itu terjadi, maka kita pun harus malu.
Sebegitu pentingkah malu kepada sesama, pikir Surti sejenak. Bukankah kita gak dikasih makan orang lain, buat apa harus malu. Pikiran Surti mulai berkecamuk. Tentang malu….
“Lalu, bagaimana dengan MALU kita pada Allah SWT?” tanya Surti penasaran.
“MALU kepada Allah SWT itu bersifat vertikal. Mudah bagi kita malu kepada Allah, bila terbiasa malu kepada sesama. Allah itu maha tahu segalanya. Siapapun kita, tiap bikin kesalahan harus MALU kepada Allah SWT. Mengapa? Karena setiap gerak-gerik kita pada dasarnya diketahui Allah” jelas Tono.
“Ohh, begitu ya Mas?” respon Surti singkat.
“Ya, ini bulan puasa Bu. Momentum kita untuk melatih rasa MALU kepada Allah SWT. Di satu sisi kita mengaku punya IMAN. Maka, di sisi lain, kita harus tegakkan ajaran-Nya. Tanpa ada keraguan lagi. Termasuk merasa MALU jika berkata atau berbuat yang tidak benar”.
Surti mulai merenung. Mencoba memahami ucapan suaminya. Tentang malu yang hampir hilang di negeri ini. Surti setuju seratus persen pada suaminya. Penting untuk punya rasa malu. Surti pun memberi komentar.
“Setuju Mas. Kita harus MALU kepada Allah SWT. Karena kita sering larut dalam pujian. Hingga lupa, masih banyak prasangka buruk dalam diri. Kita MALU karena banyak berkata-kata. Namun sedikit dalam berbuat. Kita sering bilang cinta pada Allah. Tapi perbuatan jauh dari ketaatan pada-Nya. Kita tahu yang dilarang. Tapi di saat yang sama kita berani melanggarnya. Tidak tahu malu kita ini. Apalagi disuruh bertobat” ujar Surti seperti penceramah.
Tak disangka Tono. Ucapan Surti sangat luar biasa. Komentar istrinya tak seperti biasanya. “Sungguh, luar biasa kata-katamu Bu. Aku bangga menjadi suamimu”.