Makin banyak orang pintar, pendidikan makin dikebiri. Makin maju bangsa, pendidikan makin jadi polemik. Tahun 2015 lalu, ketika ada rencana pesta bikini sebagai perayaan pasca UN siswa SMA, sontak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan menyatakan dunia pendidikan Indonesia dalam kondisi gawat darurat. Itu artinya, dunia pendidikan sedang “sakit” yang tidak menentu. Bisa hidup, bisa mati. Ini sinyal dunia pendidikan kita dalam keadaan bahaya, butuh pengobatan.
Fakta lain membuktikan dunia pendidikan memang sedang sakit. Sebut saja, kondisi 75% sekolah di Indonesia yang tidak memenuhi standar layanan minimal pendidikan. Indeks kompetensi guru di Indonesia hanya 44,5 dari standar kompetensi guru sebesar 75. Belum lagi, rilis The Learning Curve yang menempatkan Indonesia pada peringkat 40 dari 40 negara berkaitan dengan kualitas pendidikan. Bahkan Programme for International Study Assessment (PISA) pada tahun 2012 lalu, menempatkan pendidikan Indonesia berada pada peringkat 64 dari 65 negara.
Memang, segudang persoalan sedang menghantui dunia pendidikan. Mentalitas siswa cenderung merosot. Keterlibatan siswa dalam kejahatan seksual belakangan ini pun bisa menjadi indikator. Belum lagi, soal konten pornografi yang “kecolongan” masuk di buku pelajaran. Hingga masalah, Kurikulum 2013 yang “terpaksa” dihentikan akibat menuai protes dan dianggap belum siap lalu sekarang mulai diterapkan lagi. Dunia pendidikan di Indonesia makin karut-marut. Ada yang tidak beres, ada yang perlu dibenahi. Sementara itu, anggaran pendidikan tetap yang terbesar di APBN 2015, senilaiRp 408,5 triliun. Atau 20,59% dari total belanja negara. Angka yang fantastis di tengah gawat darurat dunia pendidikan kita.
Lalu, apa yang harus dilakukan dunia pendidikan?
Sungguh, mencari cara untuk membenahi dunia pendidikan di Indonesia tidak mudah. Dunia pendidikan makin banyak tantangan. Berharap adanya kualitas pendidikan di Indonesia seperti masih angan-angan. Terlalu banyak batu sandungan, membuat dunia pendidikan kita terus-menerus jadi polemik. Mulai dari soal kurikulum, guru, kualitas pembelajaran, hingga korupsi di dunia pendidikan. Agak wajar, gawat darurat melanda dunia pendidikan.
Sebagai kontribusi terhadap dunia pendikan, inilah momentum semua pihak untuk berpikir ulang tentang cara memajukan pendidikan Indonesia. Salah satunya, pendidikan harus dijadikan gerakan semesta. Pendidikan harus dipandang sebagai ikhtiar kolektif seluruh bangsa. Pendidikan tidak bisa dipandang sebagai sebuah program semata. Semua elemen masyarakat untuk terlibat untuk membenahi dan memajukan dunia pendidikan. Urusan pendidikan, masyarakat harus merasa memiliki, pemerintah harus memfasilitasi, dunia bisnis harus peduli, pendidik dan anak didik harus menyadari makna pendidikan yang sebenarnya.
Pendidikan sebagai “gerakan” bertumpu pada rasa memiliki semua pihak terhadap masa depan pendidikan. Pendidikan bukan sekadar "program" yang dianggap sebagai kegiatan dan tanggung jawabnya terbatas pada para pelaksana program. Pendidikan semesta mengajak semua pihak untuk peduli, merasa memiliki terhadap dunia pendidikan. Agar kita semua semua bersedia menjadi bagian dari ikhtiar untuk menyelesaikan problematika pendidikan.
Pendidikan sebagai gerakan semesta adalah pendidikan yang berbasis pada upaya pencerdasan dan penumbuhan generasi berkarakter, berkepribadian. Oleh karena itu, ikhtiar mengembalikan kesadaran tentang pentingnya pendidikan berkarakter menjadi tanggung jawab semua pihak, semua elemen masyarakat. Agar tujuan pendidikan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab dapat diwujudkan.
Gerakan semesta dalam pendidikan mengajak kita untuk melakukan instrospeksi diri, mengukur apa yang sudah benar dan apa yang masih salah dalam pendidikan.
Beberapa agenda gerakan semesta dalam pendidikan yang mendesak untuk dilakukan, antara lain:
Pertama, revitalisasi sekolah sebagai sentra pendidikan yang mandiri dan berkarakter. Sekolah seharusnya menjadi penentu arah pembelajaran yang berbasis proses dan rasa cinta. Agar siswa menjadi pribadi yang mandiri dan berkarakter. Sekolah bukan pelaksana kurikulum. Sekolah harus mampu menjadi basis pengembangan budaya dan karakter siswa.
Kedua,guru sebagai fasilitator pembelajaran. Guru harus mampu mengendalikan konten dan arah pembelajaran yang jelas, di samping menjadikan belajar sebagai kegiatan yang menyenangkan. Guru harus memiliki kreativitas dan keberanian untuk menuntun siswa dalam menemukan pelajaran dan bidang yang disenanginya.