Pak Presiden,
Maaf ya, jika hari-hari ini kebersamaan kita terganggu. Aku tak mau lagi bernasihat kepadamu. Enggan lagi bercakap denganmu. Seperti dulu saat kamu mencalonkan diri. Bukan karena aku melalaikanmu. Tapi karena aku tak memahami caramu dalam membawa asa rakyatmu untuk meraih gemilangnya masa depan.
Memang, aku hanya bekas gurumu, Pak Presiden.
Aku juga tahu tingginya cita-cita yang kau gantungkan untuk keluarga, orang tua. Hingga ingin memberi sebanyak-banyaknya manfaat buat orang lain. Berguna bagi agama dan bangsa ini. Semua kemuliaan itu, kau pancang tinggi-tinggi. Sama seperti aku mendidikmu dulu di sekolah.
[caption id="attachment_407507" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber: Pribadi - Surat Bekas Guru untuk Presiden"][/caption]
Sebagai bekas gurumu, aku tetap berpegang pada kata-kata Ki Hadjar Dewantara. Ing ngarso sung tulodo; ing madya mangun karso; tut wuri handayani. Aku selalu ada di depanmu untuk memberi contoh, di sampingmu untuk membimbing atau berada di belakangmu untuk memberikan dorongan. Aku selalu siap bersamamu, karena itu sudah menjadi panggilan jiwa dan kewajibanku. Bekas gurumu.
Pak Presiden, banyak temanmu sebelumnya yang telah menjadi dokter, insinyur, pengusaha, polisi, hakim, guru bahkan menteri. Mereka berhasil dan sukses karena bimbingan gurunya. Kalau aku sebutkan begitu, bukan karena ingin dipuji, apalagi diberi penghargaan. Semua itu sulit aku dapatkan, tetapi sebagai hal yang selalu aku simpan dalam hati. Sebagai bekas gurumu, betapa aku bahagia melihat kamu dan teman-temanmu sukses. Aku bangga pada kalian. Aku bersyuku, berarti jerih payah aku tidak sia-sia.
Tapi hari ini, aku nyatakan.
Mohon maaf jika kebersamaan kita akhir-akhir ini mulai berubah. Terlihat lain tidak seperti biasa lagi. Karena aku harus memikirkan kepentingan lain. Kepentingan hidup aku dan keluargaku. Bekas gurumu. Aku harus memperjuangkan hak-hak hidup setelah puluhan tahun aku membimbingmu dan teman-temanmu. Setelah sekian lama kami mengabdi untuk bangsa ini. Untuk negeri yang sekarang engkau pimpin, hidupku tidak menjadi lebih baik. Entah engkau mengakuinya atau tidak, yang jelas hidupku makin tidak jelas. Asa itupun tak pantas lagi aku pinta kepadamu.
Sebagai bekas gurumu, hari ini aku nyatakan.
Makin hari hidupku bukannya makin baik, bukan makin sejahtera. Malah makin susah. Ketika GDP dan taraf hidup negara ini makin tinggi, penghasilan aku tidak berubah. Harga BBM, gas dan lainnya kau naikkan hingga ke langit. Tapi ekonomiku masih menempel di tanah, di bumi. Penghasilanku tidak juga bertambah. Inilah yang membuat kebersamaan kita terganggu, Pak Presiden.
Pak Presiden, sebagai bekas gurumu, hari ini aku nyatakan.
Kamu pasti sudah tahu masalahku. Juga masalah teman-temanku, sesama bekas gurumu. Tentang kegundahan kami. Hari ini, esok atau lusa, aku dan teman-temanku makin pusing kepala untuk urusan dapur, urusan perut. Masalah bagaimana mencukupi kebutuhan keluargaku, memberi makan anak istri. Dan urusan lain yang harus aku penuhi dengan penghasilan alakadarnya.
Pak Presiden, sebagai bekas gurumu, hari ini aku nyatakan.
Rakyatmu, di pelosok desa terpencil, di kampung-kampung yang jauh di sana. Pasti kesulitan hidupnya lebih parah dari aku. Kasihan mereka, hidupnya makin sulit di tengah negara ini mengklaim ekonominya makin maju. Tolong dipikirkan Pak Presiden, gunakan hati nuranimu. Rasakanlah apa yang mereka rasakan.
Pak Presiden.
Kata banyak motivator di televisi. The show must go on. Aku sudah lakukan dari puluhan tahun lalu. Sekalipun sudah jadi bekas guru, aku masih tetap mengabdi. Karena jika tidak, darimana lagi aku mencari penghasilan. Tapi kamu harus tahu. Apapaun keadaannya, apa pun yang terjadi, pikiran dan hatiku tidak tega meninggalkan kamu begitu saja.
Dulu, aku mengajrimu mendidikmu. Itu panggilan jiwa.
Kini, aku menyurati mengingatkamu. Itu suara jiwa.
Pak Presiden.
Aku berharap, kamu membaca surat ini. Surat bekas gurumu. Semoga surat ini bisa menjadi “teguran” buat kamu dalam memimpin negeri ini. Bukan malah kamu “menegur” aku yang cuma bekas gurumu. Karena, dengan cara apa lagi aku sampaikan harapan. Surat tentang sulitnya hidup bekas gurumu. Mungkin juga sebagian rakyatmu.
Kembalilah untuk memerhatikan aku, bekas gurumu juga rakyat kecil lainnya. Dengarkan batin mereka yang sedang menangis tanpa tahu kapan harus berhenti .....
Bekerjalah dengan profesional dan jujur. Ikuti suara hatimu, seperti suara hati rakyatmu. Karena sayang, bial bangsa yang besar ini harus runtuh akibat ketamakan atau mementingkan diri sendiri atau partai yang mengusungmu.
Mohon maaf dan terima kasih.
Salam hangat,
Aku, bekas gurumu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H