Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surti Tak Pernah Sukses Ngomongin Orang

25 Februari 2014   02:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:30 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13932442951779941115

Tiap kali kedatangan teman SMP yang satu ini, Surti tidak antusias. Pasti saja ada orang lain yang dijadikan topik pembicaraan. Biasa soal kejelakan orang lain. Surti pun sulit menghindar. Maklum tamu. Ia harus menerima dengan ramah. Surti ingin jadi tuan rumah yang baik bagi siapa saja. Tamunya yang datang.

Jarum jam tepat di angka 5 sore. Teman Surti baru saja datang. Memang rumahnya tak terlalu jauh. Baru duduk saja Surti sudah tidak betah. Agak malas,

“Sur, badan elo sekarang gembrot banget sih” cela temannya.

”Ya, syukuri aja. Ini kan pemberian Tuhan. Masak kita mau protes” jawab Surti santai.

“Oh ya Sur, elo ingat teman kita waktu SMP yang duduk di depan elo?” tanya temannya.

“Ya, emangnya kenapa?” balas Surti.

“Gilaa, dia sekarang kaya banget. Gaya hidupnya mewah. Mobilan. Gue rasa dia dipelihara ama bos-nya kali. Jadi apa aja yang diminta dikasih ama bos-nya” kata teman Surti bersemangat.

Surtihanya mendesah. Tuh kan, ngomongin orang lagi, dalam hati Siurti. Ia tidak merespon. Terkesan datar. Dingin.

“Pantesin Sur, hidupnya sekarang berubah banget dia. Umur dah 40 tahun belum mau nikah. Terang aja enakan dipelihara bos daripada nikah. Iya kan?” kilah teman Surti lagi.

Surti mulai tak dapat menerima. Ia berrontak. Mengapa harus ngomongin orang, pikirnya. Surti bangkit dan bicara. Lantang.

“Lastri, aku memang temanmu. Tapi memegang prinsip untuk tidak mau ngomongin orang lain. Bagiku, pekerjaan termudah manusia adalah menilai orang lain. Menghitung cacat dan keburukan orang lain. Kita hampir sempurna untuk urusan ngomongin orang. Tak tertinggal sedikitpun. Entah, banyak orang menganggap ngomongin orang lain adalah perbuatan yang menyenangkan dan menggairahkan. Tiba-tiba, adrenalin mereka mendadak bangkit kalau urusan ngomongin orang. Bikin ketagihan. Apalagi orangnya pas yang tidak kita sukai.

Lastri terdiam. Ia kaget dengan suara Surti yang keras. Bibirnya seakan tak bisa bicara. Terkunci rapat. Surti pun kembali duduk. Menatap mata temannya.

“Lastri, aku juga tadinya suka ngomongin orang. Tapi setiap aku bicara itu, aku tidak pernah sukses. Karena suamiku, Mas Tono selalu melarang.Ia selalu katakan, tengoklah dirimu baru kau tengok orang lain. Hiruk pikuk kehidupan ini seringkali membuta kita lupa. Kita harus banyak introspejksi diri. Itulah akhlak yang sering dilupakan manusia. Kita seharusnya lebih banyak “melihat ke dalam”, bukan “menilai yang di luar kita”. Introspeksi bukan ekstropeksi.” jelas Surti.

Lagi-lagi Lastri terdiam. Menunduk. Makin malu pada Surti. Hari pun makin sore. Maghrib sebentar lagi tiba.

“Suamiku pernah bilang, orang tua, suami atau istri, anak, bahkan teman kita tidak ada yang sempurna. Kesalahan dan keburukan adalah milik setiap manusia. Termasuk aku. Aku hanya ingin menyadarkan diriku sendiri bahwa jika kita tidak memiliki apa yang kita sukai, maka sukailah apa yang kita miliki saat ini. Dari situ aku lebih senang introspeksi diri”.

Surti bersandar di sofanya. Lastri tetap menunduk. Obrolan mereka terhenti sejenak. Senyap. Mata Surti menatap ke atas. Agak menerawang.

“Ketahuilah temanku, suamiku pernah bilang bahwa ngomongin kejelekan orang lain jika benar saja ghibah. Apalagi salah maka itu fitnah. Karena itu aku tidak tertarik ngomongin orang. Hidup kita hanya sebenrta, apa lagi yang mau diperebutkan. Apa pula yang ingin kita disombongkan. Jawabnya, tidak ada” tegas Surti.

Langit makin gelap. Surti ingin temannya cepat pulang.

“Aku saaat ini pun masih belajar untuk introspeksi diri. Berusaha untuk tidak mau menang sendiri. Kita harus lebih banyak berlapang dada dan mengalah” pesan Surti mengakhiri obrolan sore itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun