Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Puasanya Surti (1): Minta Maaf & Tahan Diri

30 Juni 2014   00:17 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:15 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mukena Surti belum lagi ditaruh. Usai tarawih semalam. Lalu ia mendekat ke arah Tono, suaminya. “Mas, jelang puasa esok. Maafkan saya lahir batin ya” ujar Surti sambil mencium tangan Tono.

“Iya Bu, sama-sama maafkan saya juga lahir batin. Semoga puasa kita berkah” jawab Tono sambil mengamini dalam hati. Seketika itu pula, Surti dan Tono menciumi kening ketiga anak mereka, sambil berucap, “Mohon maaf lahir batin ya Nak. Selamat ibadah puasa”. Secara bergiliran ...

Itu hanya tradisi kecil di rumah Surti tiap jelang bulan puasa. Ya, meminta maaf. Hanya meminta maaf. Mengapa? Karena manusia hakikatnya juga tempat salah dan dosa. Tidak ada manusia di dunia yang tidak pernah berbuat salah. Berbuat salah kepada orang lain. Baik disadari atau tanpa disadari.

“Bu, kok Ibu minta maaf ama aku?” kata Farah, anak Surti.

“Iya Nak. Ibu kan sehari-hari dengan kamu di rumah. Mungkin aja Ibu marahin kamu. Atau kamu yang menyuruh ibu dengan suara keras. Itu semua salah Nak. Jadi, kita harus minta maaf kalo berbuat salah” jawab Surti.

Mendengar obrolan Surti dan anaknya, Tono tergelitik. Ikut nimbrung.

“Satu lagi ya Nak, memang minta maaf itu baik dan bisa dilakukan kapan saja. Tapi yang paling baik adalah meminta maaf dengan segera, di saat kita tahu telah berbuat salah. Misalnya, kamu megambil uang tanpa Ibu ketahui. Dipakai jajan. Nah, setelah itu minta maaflah pada Ibu. Beri tahu segera dan jangan berlama-lama. Umur kita tidak ada yang tahu. Kita ikhtiar untuk meminta maaf sebelum ajal menjemput kita”.

Di bulan puasa, suatu kali, Malaikat Jibril pernah berdoa “Ya Allah tolong abaikan puasa ummat Muhammad, apabila sebelum memasuki bulan Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal berikut: 1) Tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya (jika masih ada); 2) Tidak bermaafan terlebih dahulu antara suami istri;3) Tidak bermaafan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya. (Ibnu Khuzaimah (3/192) dan Ahmad (2/246, 254).

Sambil menonton TV. Anak Surti kembali bertanya, “Kalo lagi puasa, apa yang harus kita lakukan, Bu?”

Surti hanya seorang ibu biasa. Agak susah untuk menjelaskan kepada anaknya tentang puasa. Ia hanya terbiasa menjalankannya. Tanpa mau tahu mencari alasannya.

“Nak, yang ibu tahu, kita puasa untuk menahan diri. Menahan nafsu kita. Kalo tidak di bulan puasa, hidup kita seperti boleh semuanya. Makan, minum dan apa saja. Maka, dengan puasa kita belajar untuk menahan diri. Dari subuh hingga maghrib, kita tidak boleh makan, minum. Yang halal saja tidak boleh, apalagi yang haram” jelas Surti seadanya.

“Betul kata ibumu Nak” Tono ikut menyahut.

“Dengan puasa, kita menahan diri dari perbuatan yang dilarang Allah SWT. Paling minimal, menahan diri agar puasa kita tidak batal. Percuma kan kita puasa, tidak makan, tidak minum tapi kita tidak mendapat pahala-Nya. Jadi, kita perlu latihan menahan diri. Menahan diri dari hiruk pikuk dunia”

Ya. Menahan Diri. Dengan menahan diri kita pada akhirnya dapat mencapai tujuan puasa, yaitu 1) secara vertikal, agar menjadi orang yang bertaqwa, meningkatkan keimanan, dan semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT dan 2) secara horizontal, ikut merasakan apa yang dialami orang miskin, yang hanya bisa makan satu kali sehari. Karena mereka tidak mampu untuk membeli makanan yang layak.

Puasa. Bisa kita katakan momentum untuk istirahat sejenak dari keduniaan. Lebih dekat pada Allah SWT dengan mengerjakan yang sunah, apalagi yang wajib. Sambil kita menambah energi kepedulian sosial untuk berbagi kepada mereka yang kelaparan. Atau yang ekonominya kurang beruntung.

“Berpuasalah Nak. Setidaknya ada 2 yang baik di situ. MINTA MAAF dan Mau Menahan Diri” ujar Tono singkat.

Renungan:
- Sudahkah kita minta maaf kepada orang tua, suami/istri.anak, dan orang sekitar kita?
- Maukah kita menahan diri dari hiduk pikuk dunia?
- Apa yang kita lakukan di bulan puasa yang tidak kita lakukan di bulan lain?

“Puasa adalah perisai yang akan membentengi diri seseorang dari api neraka (HR. Thabrani).” lalu mengapa kita, “merasa bosan bila imam Sholat Tarawih kelamaan bacaannya, sementara kita tak pernah bosan menonton serunya laga sepakbola favorit kita walau hingga perpanjangan waktu”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun