"Tahukah kamu perbuatan yang paling menyenangkan lagi membuat hati tenang".
Kalimat itu yang selalu diingat Surti ketika mengikuti Kultum Sholat Tarawih malam ini. Di Mushola dekat rumahnya. Tiba-tiba, hati Surti terketuk. Tentang mengaji. Hal yang mudah diucapkan. Tapi tidak banyak orang yang mau melakukannya.
Setiba di rumah, sepulang tarawih. Surti bertutu kepada Tono, suaminya.
“Duh Mas, pengen banget ngaji tapi agak malas. Padahal, tdai kultum tarawih mengingatkan kita untuk selalu mengaji” ujar Surti kepada suaminya.
“Lho... kenapa malas mengaji, Bu?” tanya balik Tono
“Gak tau Mas. Entah karena mengantuk. Atau karena lelah badan. Maklum di bulan puasa” jawab Surti polos.
“Ya sudah Bu, gak apa malam ini nggak usah ngaji dulu. Asal jangan kelamaan malasnya. Sayang kan ini di bulan Puasa. Kalo kita banyak ngaji, maka banyak pahala. Hanya di bulan ini kita bisa memperbanyak amalan. Termasuk dengan mengaji” sahut Tono.
Ahhh sudahlah. Itu cuma obrolan sekilas antara Surti dan suaminya. Sepulang tarawih. Tidak ada yang menarik. Tentang seorang istri yang sedang malam mengaji. Sungguh, kondisi yang lazim terjadi. Pada siapapun. Malas mengaji, sering kali terjadi.
Namun tidak dengan Tono. Apa yang dinyatakan istrinya tentang malas mengaji, merasuk ke dalam pikirannya. Mengapa istrinya malas mengaji? Apakah hal yang sama terjadi juga pada kebanyakan orang? Apalagi di bulan puasa, bulan yang penuh berkah ini. Sudah sebegitu jauhkan ego manusia, berani bilang "malas mengaji".
Pikiran Tono makin terusik. Mengapa bisa malas mengaji? Tono berusaha untuk menelaah. Dalam pikirannya, didorong hati kecilnya.
Mengaji. Ngaji. Atau Pengajian. Apalah namanya. Mengapa mengaji? pikir Tono yang mulai ingin tahu. Apa untungnya mengaji? Mengapa pula harus mengaji?
Tono berusaha keras mengerahkan pikirannya. Tentang mengaji. Perbuatan yang menyenangkan lagi membuat hati tenang. Pikiran Tono berkecamuk. Ada rasa ingin tahu yang mendalam. Sekali lagi, tentang mengaji.
Batin Tono pun bergumam. Mencari tahu tentang mengaji. Ia memanggil pikiran-pikiran masa lalunya.
Mengaji? Ngaji. Iya dulu aku mengenal kata “ngaji” sewaktu kecil. Ngaji sama artinya membaca Al Qur’an. Tempatnya bisa di rumah. Atau yang paling sering di musholla. Atau di langgar dekat rumah. Belajar membaca Al-Qur'an, itulah mengaji. Dari soal makharijul huruf sampai dengan tartil dan tilawah. Begitu pikir Tono sederhana.
Tapi kini, pikir Tono lagi.
Ada juga “ngaji” di forum-forum agama di masjid. Komunitas yang rajin melakukan "pengajian". Rutin dan dalam jumlah yang banyak jamaahnya. Mungkin sekarang, “mengaji” tidak lagi sebatas “belajar baca Al Qur’an”. Tapi “ngaji” sama dengan "mengikuti ceramah agama". Biasanya disampaikan oleh Ustadz atau Kyai. Katakanlah ulama. “Ngaji” sekarang lebih umum. Tempatnya pun tidak hanya di masjid atau musholla. Bisa di kantor, bisa di arisan. Bahkan sekarang lebih banyak orang mengaji di stasiun TV.
Menariknya, pikir Tono lagi, di kalangan masyarakat modern sekarang. Khususnya kaum intelektual atau terpelajar, “ngaji” punya makna yang lebih tajam. “Ngaji” lebih diartikan sebagai forum pengkaderan. Komunitas yang berbasis agama, bahkan partai politik pun menggunakan “pengajian” untuk memperkuat jaringan. “Ngaji” lebih berfungsi untuk memisahkan insider dan outsider kader. Agak berat sih “ngaji” begini, pikir Tono. Ngaji atas kepentingan, atas mazhab tertentu. Sungguh berat, gumam hati Tono lagi.
Tiba-tiba Surti menghampiri suaminya. Ingin tahu, apa yang dipikirkan suaminya. Tono pun tersentak. Kaget.
“Mas, sedang mikir apa sih ? Kok serius banget?” tanya Surti santai.
“Nggak Bu, cuma kepikir aja yang kamu barusan bilang. Tentang mengaji atau ngaji. Sebenarnya “ngaji” itu apa? Dan untuk apa kita mengaji?” jawab Tono dengan penuh penasaran.
“Maksud Mas apa?” tanya Surti lagi polos.
“Ya, dulu waktu saya kecil “ngaji” itu belajar baca Al Qur’an. Lalu ada juga “ngaji” seperti yang ada di TV sekarang. Ngikutin ceramah agama yang banyak pesertanya. Dan ada juga “ngaji” buat pengkaderan agar dogma suatu kelompok makin kuat mengalir dalam diri kadernya” terang Tono.
“Wah Mas, aku gak tahu. Ribet banget mikirin “ngaji” kayak gitu” tukas Surti, 'Bagiku sederhana aja Mas. Ngaji itu untuk semua orang. Dan bisa untuk belajar agama. Agar lebih tahu mana yang benar mana yang tidak benar" lanjutnya.
Atau bisa juga untuk mengkaji diri. Orang hidup kan juga harus mikir. Harus introspeksi diri atas apa yang telah diperbuatnya. Jadi ada teman gak ada teman, kita bisa “ngaji” kok Mas...” jawab Surti.
“Ohhhh gitu ya Bu, benar juga kamu” puji Tono.
“Ya Mas, ngaji yang penting substansinya. Belajar. Memperkaya ilmu dan pengetahuan. Baik soal agama atau soal kehidupan lainnya. Karena ilmu tidak akan datang jika tidak dicari. Ngaji itu artinya kita siap untuk terus belajar. Manusia tidak boleh puas dengan apa yang sudah diraihnya. Zaman berubah, maka kita juga harus menyesuaikan. Di situlah pentingnya kita mengaji” tambah Surti lagi.
“Jadi, menurut kamu, subtansi ngaji itu apa?” tanya Tono ingin tahu.
“Duh Mas, serius banget. Sederhana saja, ngaji itu menambah ilmu untuk diri sendiri. Agar bisa diberikan juga kepada orang lain. Tentu dengan cara yang benar, bukan cara provokatif. Gak usah mengaji untuk menyalahkan orang lain. Apalagi menghujat. Karena belum tentu benar. Mengaji itu agar kita lebih diridhoi Allah SWT dalam setiap sisi kehidupan. Itu saja” terang Surti bersemangat.
Surti berpikir ini momentum dirinya untuk mengekspresikan pendapatnya tentang mengaji. Agar tidak salah arah. Agar tidak ada tendensi jelek tentang kegiatan mengaji.
“Satu hal yang patut kita renungkan sekarang, Mas. Mengaji itu penting agar kita mau mengkaji diri. Apakah kita sudah jadi insan yang baik atau belum. Karena itu, harus ada ruang dalam diri kita untuk “mengaji”, apapun bentuknya. Ngaji jangan di langgar... tapi dikerjakan. Sesuai niat kita saja...” tutur Surti.
Mendengar jawaban istrinya, Tono terkesima. Ia terdiam, membisu. Harus ada ruang dalam diri setiap insan untuk mengaji, mengkaji diri dan belajar tentang agama. Tono kembali berpikir keras, ingin memahami dengan jernih tentang mengaji. Fenomena mengaji yang makin semarak seperti sekarang.
"Sungguh, mengaji itu perlu. Agar kita sebagai manusia tidak seperti orang yang sakit. Karena banyak orang sakit yang tidak mau berobat. Ia merasa sakiitnya akan sembuh sendiri. Lama kelamaan sakitnya juga akan hilang. Teramat tidak benar sikap itu” pikir Tono.
Begitulah mengaji seharusnya. Setelah sekian lama kita terpisah dari-Nya, mabuk dalam kehidupan duniawi. Maka mengaji bisa menjadi sarana manusia untuk "berobat" agar sembuh dari penyakit dunia. Dengan mengaji, maka kita akan tahu peyebab penyakit hati yang ada dalam diri. Agar tidak stres, tidak galau dalam hidup" papar Tono.
Mengaji, sangat penting hari ini. Laksana hati yang kering, maka buahnya akan mudah rontok. Dan manfaatnya pun menjadi hilang. Adakah manusia yang kini hatinya kering dan buahnya rontok? Sungguh, mereka butuh untuk mengaji ... Agar menjadi senang dan tenang. #PuasanyaSurti
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H